Mengapa Pelibatan Laki-Laki Jadi Kunci Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan di Kampus?

3 hours ago 2

Oleh: Dr Debbie Affianty, M.Si, Ketua PSGA UMJ dan Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kampus selalu kita bayangkan sebagai ruang belajar yang aman, beradab, dan penuh harapan. Namun kenyataan sering jauh dari ideal.

Kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, psikis, seksual, ekonomi, maupun kekerasan berbasis gender online, masih terjadi dan bahkan semakin sulit dikenali bentuknya.

Di ruang digital, mahasiswa perempuan dihadapkan pada ancaman baru seperti perundungan siber, penguntitan daring, penyebaran konten intim, hingga pemerasan seksual berbasis gambar.

Banyak dari mereka menjalani hari-hari di kampus dengan membawa trauma yang tidak terlihat, kecemasan yang tak terucap, dan beban psikologis yang meruntuhkan kemampuan mereka untuk belajar dan bertumbuh.

Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 mendokumentasikan 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 9,77 persen dari tahun sebelumnya.

Kenaikan signifikan terjadi pada kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang meningkat 40,8 persen, dengan bentuk-bentuk antara lain online threats, cyber sexual harassment, malicious distribution, sexploitation, pelanggaran privasi, dan penipuan.

We Are Social (2025) mencatat, Indonesia kini memiliki 224 juta pengguna internet, setara dengan 81 persen populasi nasional, sebuah penetrasi digital yang membuka peluang baru sekaligus meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender daring.

Di lingkungan pendidikan tinggi, Kemendikbudristek (2023) melaporkan sedikitnya 4.739 aduan kekerasan di kampus, sementara survei Setara Institute menunjukkan 53 persen mahasiswa pernah menyaksikan ujaran kebencian berbasis gender, etnis, atau agama di lingkungan kampus.

Angka-angka ini menegaskan, kekerasan tidak hanya terjadi di ruang privat, tetapi juga hidup dalam interaksi sehari-hari, termasuk di ruang belajar yang seharusnya aman.

Inilah salah satu alasan mengapa Universitas Muhammadiyah Jakarta berinisiatif meluncurkan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang bertepatan dengan Peringatan Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 25 November 2025.

Langkah ini bukan sekadar agenda tahunan, melainkan pernyataan politik moral bahwa kampus tidak boleh menjadi ruang di mana kekerasan dinormalisasi atau dianggap sebagai persoalan personal yang harus diselesaikan secara diam-diam.

Kampus wajib hadir sebagai pelindung, penguat, dan ruang aman bagi seluruh sivitas, terutama mahasiswi dan kelompok rentan yang kerap menjadi sasaran.

Satu pelajaran penting adalah bahwa gerakan pencegahan kekerasan tidak akan efektif jika hanya digerakkan oleh perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah gejala budaya, bukan sekadar persoalan individu.

Karena itu, perubahan harus melibatkan laki-laki. Dalam banyak kasus, suara laki-laki memiliki daya pengaruh yang menentukan apakah kekerasan dibiarkan atau dihentikan. Ketika laki-laki menegur, lingkungan sosial berubah. Ketika mereka diam, kekerasan bertahan.

Di sinilah relevansi kampanye HeForShe menjadi sangat penting. Gerakan global yang diinisiasi UN Women ini bukan sekadar ajakan agar laki-laki “mendukung perempuan”, tetapi undangan untuk mengubah budaya maskulinitas yang melahirkan kekerasan.

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh PSGA UMJ, Dr. Khaerul Umam Noer, Koordinator Nasional Jejaring #KampusAman, menguraikan makna mendalam dari gerakan ini.

Ia mengatakan, HeForShe bukan kampanye seremonial, melainkan gerakan perubahan budaya. Pelibatan laki-laki, menurutnya, adalah keharusan karena memiliki ruang sosial yang memungkinkan mereka menegur, mencegah, sekaligus menciptakan lingkungan yang aman.

Ketika laki-laki secara sadar menolak candaan seksis, menghentikan perilaku berbahaya, dan berdiri bersama korban, maka kekerasan dapat dicegah bahkan sebelum terjadi.

Penjelasan ini membuka mata kita bahwa pencegahan kekerasan membutuhkan sentuhan budaya, bukan hanya aturan.

Kampus perlu membangun ruang kesadaran melalui pendidikan gender dan literasi digital, memperluas keterlibatan mahasiswa laki-laki melalui komunitas, organisasi, dan kegiatan kemahasiswaan, serta mendorong aksi nyata dalam pembelaan terhadap korban dan pembongkaran budaya permisif yang melindungi pelaku.

Tentu saja, semua ini hanya akan bermakna jika kampus benar-benar memihak korban, memperkuat mekanisme pelaporan, dan memastikan bahwa setiap kasus ditangani secara profesional, ramah, dan adil.

Namun tanpa perubahan budaya, aturan hanya akan menjadi dokumen yang tidak berpengaruh. Sebaliknya, dengan budaya yang sehat dan keterlibatan laki-laki sebagai sekutu, kampus dapat menciptakan ekosistem baru di mana kekerasan tidak mendapat ruang untuk tumbuh.

Kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar isu perempuan. Ia isu keberadaban manusia. Jika kampus ingin melahirkan generasi yang menjunjung nilai kemanusiaan, maka kampus harus menjadi ruang yang mempraktikkan nilai itu setiap hari.

Pelibatan laki-laki bukan aksesori dalam gerakan besar ini; mereka adalah bagian penting dari fondasinya.

Kampus aman hanya akan terwujud bila perempuan dan laki-laki berdiri bersama, saling menjaga, saling menghormati, dan sepakat bahwa kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak memiliki tempat di ruang akademik.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |