Gibran Membawa Pesan Penting ke Afrika

1 hour ago 2

Image farrel nandana

Politik | 2025-11-26 14:17:47

Kunjungan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, ke sejumlah negara di Afrika seharusnya tidak dipandang sebagai sekadar rangkaian seremoni diplomatik. Di tengah instabilitas global yang kian kompleks, langkah Indonesia memperluas relasi ke benua tersebut mengandung kepentingan strategis sekaligus membuka ruang kritik yang perlu disikapi secara rasional. Diplomasi tidak cukup berhenti pada narasi publik yang indah, melainkan menuntut perencanaan matang, arah kebijakan yang jelas, serta keberanian pemerintah untuk mengukur kapasitas nasional secara jujur.

Afrika kini menjelma sebagai arena perebutan pengaruh kekuatan besar dunia. Amerika Serikat, China, Rusia, Uni Eropa, hingga negara lain berlomba memperluas jejaring ekonomi dan politiknya melalui proyek infrastruktur, investasi sumber daya alam, serta kerja sama pertahanan. Dalam pusaran ini, Indonesia ikut masuk dengan mengusung konsep kemitraan setara dan solidaritas negara berkembang. Namun persoalan mendasarnya, sejauh mana Indonesia benar - benar siap berperan sebagai mitra strategis, dan tidak sekadar menjadi pelengkap dalam kompetisi geopolitik?

Narasi kerja sama Selatan - Selatan yang dibawa Gibran tentu terdengar progresif. Warisan Konferensi Asia Afrika 1955 kembali diangkat sebagai fondasi moral diplomasi Indonesia. Akan tetapi, realitas hari ini jauh lebih kompleks dibanding tujuh dekade silam. Jika dahulu solidaritas dibangun atas pengalaman penjajahan yang sama, kini tantangannya mencakup krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik geopolitik modern. Tanpa terobosan kebijakan konkret, semangat Bandung hanya akan menjadi simbol nostalgia yang miskin implementasi.

Indonesia juga perlu bercermin. Apakah struktur ekonomi nasional telah cukup kuat untuk menembus pasar Afrika yang penuh risiko? Apakah pelaku usaha Indonesia siap menghadapi karakter pasar yang beragam, kerumitan birokrasi, serta ketidakpastian politik di sejumlah negara Afrika? Tanpa kesiapan menyeluruh, kerja sama lintas benua ini berpotensi berakhir hanya sebagai pernyataan niat dan dokumentasi seremoni.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Afrika bukan medan investasi yang mudah. Keterbatasan infrastruktur, stabilitas politik yang fluktuatif, hingga sistem hukum yang belum seragam menjadi tantangan serius. Tanpa strategi pemerintah yang jelas dan perlindungan memadai bagi investor nasional, perusahaan Indonesia akan sulit bersaing dengan korporasi global yang memiliki sokongan negara, teknologi mutakhir, dan modal besar. Dalam konteks ini, diplomasi harus hadir bukan sebagai retorika, melainkan sebagai alat proteksi dan akselerasi ekonomi nasional.

Gibran juga dilihat sebagai simbol generasi baru dalam diplomasi Indonesia. Namun simbol tidak akan menggerakkan perubahan tanpa kebijakan nyata. Anak muda membutuhkan lebih dari sekadar representasi, mereka memerlukan lapangan kerja, akses pendidikan, serta peluang usaha yang nyata. Jika hubungan dengan Afrika tidak berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi domestik dan penguatan sumber daya manusia, maka istilah “diplomasi muda” hanya akan menjadi jargon politik tanpa isi.

Dalam politik luar negeri, Indonesia terus menggaungkan prinsip bebas aktif. Namun implementasinya tidak semudah teori. Mendekat ke Afrika berarti bersentuhan dengan kepentingan banyak kekuatan besar yang telah lama bercokol. Tanpa kehati-hatian strategis, Indonesia berpotensi terjebak dalam konflik kepentingan yang tidak memberikan keuntungan apa pun bagi rakyat. Prinsip bebas aktif seharusnya diterjemahkan dalam kebijakan yang cermat, mandiri, dan berorientasi kepentingan nasional, bukan sekadar sikap netral yang pasif.

Di sisi lain, publik juga berhak atas transparansi hasil diplomasi. Apakah terdapat kesepakatan konkret yang dicapai? Apakah ada tindak lanjut atas komitmen yang diumumkan? Diplomasi yang sehat tidak berlangsung dalam ruang tertutup, melainkan memerlukan akuntabilitas yang jelas kepada publik. Tanpa keterbukaan, kerja sama internasional hanya akan menjadi komoditas politik elite. Indonesia juga membawa pesan kemanusiaan ke Afrika. Namun pesan tersebut tidak akan kredibel jika persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan domestik tidak ditangani secara serius. Solidaritas global akan lebih bermakna jika Indonesia berdiri sebagai negara yang kuat secara internal. Kepedulian ke luar negeri tidak boleh mengaburkan tanggung jawab kepada rakyat sendiri.

Afrika bukan ruang uji coba diplomasi yang dapat dijadikan sekadar panggung simbolik untuk kepentingan pencitraan politik jangka pendek, melainkan wilayah strategis yang menuntut keseriusan, konsistensi kebijakan, dan orientasi pada hasil nyata. Hubungan yang dibangun dengan negara-negara Afrika harus bertumpu pada kepentingan bersama, kerja sama konkret, serta komitmen jangka panjang, bukan hanya pada euforia kunjungan resmi atau pernyataan normatif. Kunjungan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencerminkan keinginan Indonesia untuk tampil sebagai aktor regional yang diperhitungkan dalam percaturan global, sebuah ambisi yang sah dan patut diapresiasi mengingat besarnya potensi Indonesia untuk memainkan peran strategis di antara negara berkembang. Namun, ambisi tersebut dapat berubah menjadi bumerang jika tidak disertai peta jalan yang jelas dan tindak lanjut yang terukur. Kunjungan diplomatik tanpa implementasi kebijakan hanya akan melahirkan kesepakatan di atas kertas, sementara Indonesia berisiko dicap sebagai negara yang kuat dalam wacana, tetapi lemah dalam eksekusi. Diplomasi semestinya tidak diukur dari frekuensi perjalanan atau intensitas pertemuan, melainkan dari manfaat langsung bagi masyarakat, baik dalam bentuk peluang ekonomi, investasi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, maupun penguatan posisi nasional di tingkat global, sebab tanpa itu, hubungan yang dijalin akan mudah pudar dan kehilangan maknanya.

Afrika membutuhkan mitra jangka panjang, bukan tamu sesaat. Demikian pula Indonesia memerlukan kerja sama yang berdampak nyata, bukan hanya kebanggaan simbolik. Jika diplomasi ini dikelola secara profesional dan berkelanjutan, maka kunjungan Gibran dapat menjadi penanda babak baru hubungan Indonesia - Afrika. Namun jika tidak, publik hanya akan mengingatnya sebagai agenda seremonial yang hilang dalam arsip sejarah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |