Dari Bogor ke Surabaya Hingga Belajar Menjadi Dewasa

1 hour ago 2

Image Zidane Ardiansyah

Momen | 2025-11-26 16:26:14

Universitas Airlangga

Pada awalnya, saya mengira perpindahan saya dari Bogor ke Surabaya hanya permasalahan mengenai jarak dan waktu tempuh. Saya juga mengira tantangan terbesar hanyalah jarak ribuan kilometer yang memisahkan saya dari keluarga dan kota kelahiran. Namun, setelah resmi tinggal di Surabaya sebagai mahasiswa baru, saya menyadari bahwa perpindahan itu lebih dari sekadar geografis. Perbedaan budaya dan gaya hidup memberi saya pengalaman yang jauh lebih kompleks daripada sekadar pindah tempat tinggal.

Saya besar di Bogor, kota yang dikenal sebagai kota hujan dengan udara sejuk yang akrab. Begitu tiba di Surabaya, kejutan pertama yang saya rasakan adalah cuacanya yang begitu menyengat. Saya masih mengingat dengan jelas ketika keluar dari hotel pada pukul tujuh pagi untuk mencari tempat kos, panasnya hampir setara dengan pukul dua belas siang di Bogor. Saat itu, saya hanya berpikir, “Orang Surabaya kuat juga ya ngadepin cuaca seperti ini setiap hari.

Selain cuaca, perbedaan gaya hidup juga terasa mencolok. Di Bogor, kebanyakan orang terbiasa berpakaian dengan pakaian lengan panjang/jaket dan celana panjang bahkan ketika pergi ke pusat perbelanjaan. Namun di Surabaya, pakaian sehari-hari yang umum dijumpai adalah kaos tipis dan celana pendek. Sesuatu yang membuat saya merasa sungguh asing pada awalnya, seperti satu-satunya orang yang berpakaian “terlalu lengkap” di tengah keramaian.

Aspek bahasa pun tidak kalah menantang. Sebagai pendatang, saya sudah berekspektasi untuk mengerti beberapa kata dalam Bahasa Jawa, tetapi saya tidak menyangka akan menghadapi banyak kesalahpahaman kecil. Salah satu pengalaman menarik terjadi ketika saya pertama kali mendengar teman mengatakan kata “dodol” kepada saya. Bagi saya, dodol berarti makanan tradisional atau kata untuk menyebut seseorang yang lamban atau bodoh. Ternyata, dalam bahasa Jawa, dodol bisa berarti jual/menjual. Pengalaman sederhana ini membuat saya hanya bisa tersenyum malus, sekaligus sadar bahwa komunikasi antardaerah menyimpan dinamika yang unik.

Semua perbedaan kecil itu perlahan membuat saya memahami bahwa tantangan utama bukanlah cuaca, pakaian, atau bahasa. Tantangan terbesar adalah bagaimana saya menyesuaikan diri dan menjalani kehidupan mandiri tanpa bergantung pada siapa pun. Masa PKKMB dan awal minggu perkuliahan menjadi titik balik di mana saya benar-benar merasakan arti menjadi seorang perantau. Bangun sendiri, mengurus kebutuhan sendiri, makan sendiri, bahkan ketika sakit pun harus berobat sendiri. Tidak ada lagi kenyamanan rumah yang memanjakan. Di momen-momen inilah, saya menyadari bahwa saya sudah memasuki tahap kehidupan yang baru. Selain kemandirian fisik, berada di lingkungan kampus yang beragam membuat saya belajar menghargai perbedaan secara lebih konkret. Untuk pertama kalinya saya memiliki teman dekat yang berbeda agama, dan dari situ saya belajar bahwa keberagaman bukan hanya konsep ideal dalam buku, tetapi realitas yang memperkaya cara pandang saya terhadap dunia.

Jika Bogor mengajarkan ketenangan dan kehati-hatian, Surabaya dengan keterusterangannya justru mendewasakan dengan cara yang lebih mendesak. Culture shock yang saya alami mungkin adalah proses peleburan, di mana keterkejutan saya berubah menjadi kemampuan beradaptasi. Saya tidak lagi hanya beradaptasi dengan kota baru, tetapi juga dengan diri baru yang lebih berani dan mandiri. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, perpindahan ini bukan hanya mencatat jarak tempuh, melainkan jarak emosional yang telah dan harus saya lalui menuju kematangan. Proses berpisah dengan zona nyaman adalah ujian pertama yang harus dilewati setiap generasi untuk menghadapi kompleksitas masa depan. Sebab, untuk menjadi dewasa, kita tidak hanya harus mampu hidup terpisah dari keluarga, namun juga mampu hidup menyatu dengan perbedaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |