Demokrasi Bukan Ajang Menang-menangan

1 hour ago 2

Image Nadia Apriani

Eduaksi | 2025-11-26 16:45:26

Di berbagai sudut kota, suara demonstrasi beberapa tahun terakhir seakan tak pernah benar-benar reda. Dari penolakan revisi undang-undang hingga tuntutan transparansi dan keadilan sosial, jalanan menjadi panggung tempat rakyat menyuarakan harapan, kekecewaan, dan kegelisahan. Di tengah hiruk-pikuk demokrasi yang panas ini, mudah sekali melupakan satu hal: Indonesia berdiri bukan hanya di atas semangat perlawanan, tetapi juga di atas kebijaksanaan untuk berkompromi demi persatuan.

Jauh sebelum warganet saling berdebat di media sosial, ada para perumus bangsa yang berada di ruang-ruang perundingan jauh dari sorot kamera. Salah satunya adalah Abikoesno Tjokrosoejoso, tokoh Panitia Sembilan yang ikut merumuskan Piagam Jakarta. Dari sosok inilah, di tengah suasana politik yang bising hari ini, kita belajar bahwa menjaga Indonesia sering kali berarti bersedia menurunkan ego, merawat perbedaan, dan mencari titik temu bersama.

Abikoesno lahir di Dolopo, Madiun, pada 15 Juni 1897. Latar belakangnya sebagai arsitek tercermin dalam cara pandangnya: melihat bangsa seperti bangunan yang harus dirancang kokoh sekaligus menyediakan ruang bagi semua penghuninya. Selain memimpin Sarekat Islam Indonesia (PSII), ia aktif dalam berbagai gerakan politik menjelang kemerdekaan. Namun kontribusinya yang paling menentukan muncul ketika ia duduk di BPUPKI dan kemudian menjadi anggota Panitia Sembilan—tim perumus Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dikenal sebagai Piagam JakarAbi

Abikoesno Tjokrosoejoso

Perdebatan paling terkenal dalam penyusunan Piagam Jakarta adalah soal tujuh kata dalam sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Rumusan ini lahir dari semangat keislaman yang kuat, namun juga menimbulkan kekhawatiran sebagian kelompok nonmuslim. Di titik inilah, Abikoesno dan para pendiri bangsa menghadapi pilihan sulit: mempertahankan rumusan yang lebih spesifik untuk kelompok mayoritas atau melunak demi mengamankan persatuan negara yang baru lahir.

Mengubahnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sering disalahpahami sebagai bentuk pengorbanan. Padahal, kompromi itu mencerminkan kedewasaan spiritual sekaligus kedewasaan politik. Menempatkan keutuhan bangsa di atas kepentingan golongan bukanlah kelemahan, tetapi akhlak politik. Rumusan itu menjadi titik temu yang memberi ruang hidup bagi semua warga, tanpa meniadakan keimanan mayoritas.

Kini perdebatan serupa tidak lagi berlangsung di ruang sidang resmi, melainkan di jalanan dan layar gawai. Demonstrasi menjadi salah satu cara rakyat mengingatkan pemerintah agar tidak jauh dari amanat konstitusi. Di sisi lain, media sosial memungkinkan opini menyebar lebih cepat daripada kemampuan kita untuk mencerna. Dalam derasnya lalu lintas informasi, polarisasi tumbuh subur: lawan politik berubah menjadi musuh, perbedaan pendapat berubah menjadi saling merendahkan.

Padahal pelajaran dari Piagam Jakarta masih relevan: demokrasi memang membuka ruang untuk kritik, unjuk rasa, dan ketidaksepakatan, tetapi tujuan akhirnya tetap menjaga republik sebagai rumah bersama. Hak berpendapat seharusnya tidak membakar jembatan persaudaraan, melainkan memperbaiki jembatan yang mulai retak. Musyawarah dan kompromi bukan sekadar catatan sejarah; keduanya adalah etika yang menentukan apakah demokrasi akan memperkuat atau memecah bangsa.

Saya bukan saksi sejarah perumusan Piagam Jakarta, tetapi setiap kali melihat gesekan politik hari ini—baik di jalanan maupun di media sosial—saya membayangkan betapa beratnya keputusan kompromi itu. Mungkin memang begitulah harga dari menjaga sebuah rumah besar bernama Indonesia: semua orang harus siap untuk mengalah sedikit agar tidak kehilangan semuanya.

Abikoesno dan kawan-kawan generasinya telah menunjukkan bahwa politik dapat dijalankan dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan sekaligus kepada sesama. Mereka berani mengambil keputusan yang tidak menyenangkan semua pihak, tetapi menjaga agar republik yang baru lahir tidak retak bahkan sebelum berdiri tegak. Pertanyaannya, apakah generasi hari ini siap mewarisi keberanian moral yang sama?

Ketika turun ke jalan, menulis di media sosial, atau menyusun kebijakan di lembaga resmi, setiap orang diingatkan bahwa demokrasi bukan ajang saling mengalahkan, tetapi seni merajut kesepakatan di tengah perbedaan. Kompromi bukan berarti menyerah; kompromi adalah cara dewasa menjaga agar Indonesia tetap menjadi rumah yang aman bagi semua. Selama semangat Piagam Jakarta dihidupkan dalam sikap dan tutur kita, demokrasi tidak akan menjadi sumber perpecahan, melainkan jalan panjang menuju persatuan dan keadilan.

Nadia Apriani, Mahasiswa D4 Perbankan dan Keuangan, Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |