Laporan A Syalaby Ichsan dari Bener Meriah, Aceh
REPUBLIKA.CO.ID, ACEH -- Kabel listrik bekas itu menjuntai hingga ke pertengahan badan Sungai Peusangan di Desa Simpang Rahmat, Kabupaten Bener Meriah. Dump biru yang tinggal separuh, berkawal tambang di setiap sudutnya. Wadah itu menggantung sambil membawa sebuah sepeda motor. Di sampingnya, tambang mengikat barang yang dibawa berbarengan dengan kendaraan roda dua yang disebut warga Aceh sebagai kereta.
Warga menyebutnya sling. Meski sebenarnya, orang Aceh mengenal "kereta gantung" itu sebagai Lampeu. Sling yang beroperasi usai bencana bandang pada akhir November lalu itu populer di media sosial. Terlebih, setelah Wakil Bupati Aceh Tengah Muchsin Hasan yang meluncur bersama motornya hampir terjatuh karena tali sling terputus. Beruntung, pejabat daerah tersebut masih selamat setelah sempat menggantung selama beberapa menit.
Pada Sabtu (27/12/2025) sore, Republika berkesempatan untuk melakukan peliputan ke penyeberangan darurat tersebut. Meski sudah tak padat, warga masih tampak mengantre untuk menyeberang. Mereka membawa motor, sembako, hingga para buruh pikul yang disewa untuk mengambil durian yang sedang panen.
Ada tiga macam sling yang menyambungkan desa di Kabupaten Bener Meuriah dengan Aceh Tengah itu. Pertama, kabel baja yang dilalui pejalan kaki. Sling itu beranggotakan kabel titian dan pegangan untuk warga yang hendak menyeberang.
Kedua, sling untuk barang dan kendaran berupa dump biru dan tambang. Sling terakhir merupakan bantuan dari Polres Bener Meriah. Sling bantuan tersebut tampak lebih kokoh karena empat rangkanya berasal dari tali baja. Alasnya pun berbahan papan dengan rantai bekas sepeda motor untuk menahan beban agar tidak jatuh.
Menurut Reje atau Kepala Desa Simpang Rahmat, Marikun, tiga sling tersebut menjadi penghubung antara Desa Karang Ampar, Bergang dan Pantan Reduk yang berada di wilayah Kabupaten Aceh Tengah ke Desa Simpang Rahmat, Kabupaten Bener Meuriah. Marikun mengungkapkan, jembatan tali tersebut menjadi satu-satunya akses warga di tiga desa itu untuk keluar setelah Jembatan Krueng yang melintasi Sungai Peusangan hancur.
Menurut Marikun, dia menginisiasi sling untuk mengevakuasi warga dari tiga desa di seberang sungai yang terisolasi setelah banjir bandang datang. "Hari Rabu kejadian, hari Jumatnya sudah kita pasang untuk membantu warga yang terjebak di kebun,"ujar dia.
Saat membangun sling, Marikun memberdayakan 70 pemuda desa. Mereka memanfaatkan kabel bekas PLN yang putus akibat bencana. "Alat-alat tidak ada. Kami terpaksa memasang dari kabel listrik PLN untuk pembuatan Leumpu.
Harus pasang sling karena kalau tidak dipasang masyarakat kita terjebak di kebun karena jembatan putus," kata dia.
Jam operasional sling dibuka sejak pukul 08.00 hingga 22.00 malam. Dalam satu kali penyeberangan, setidaknya butuh waktu berkisar 15 menit untuk persiapan dan peluncuran. Butuh setidaknya dua puluh pemuda untuk mengoperasikan alat tersebut. Petugas kepolisian dari Polres Bener Meriah tampak membantu.
Jembatan yang dilalui dengan berjalan kaki bisa lebih cepat. Hanya saja, ketika berpapasan, para pejalan kaki itu harus lebih sabar menunggu. Untuk jembatan titian bagi pejalan kaki tidak dikenakan tarif.
Salah satu pengguna sling, Mulyadi, mengungkapkan, selama satu bulan belakangan, dia menggunakan sling untuk menyeberang ke desanya di seberang sungai. Dalam sehari, penjual sembako ini mengaku harus melalui sling empat hingga lima kali. "Bayar Rp 15.000, sama motor beda lagi," ujar dia.
Mulyadi mengaku harus menggunakan 'kereta gantung' darurat tersebut sebagai satu-satunya akses menuju Jalan Digul yang berada di Gedung Tengah, Bener Meriah mengingat putusnya jembatan. Lokasi tersebut, ujar dia, menjadi tempatnya mencari nafkah.

4 hours ago
3












































