Tarif Royalti Minerba Naik, Pengusaha: Otomatis Keuntungan Tergerus

3 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (Minerba) akan berpengaruh signifikan terhadap perusahaan tambang. Ia menilai kebijakan teranyar soal royalti minerba tersebut dikeluarkan di waktu yang kurang tepat karena kondisi harga komoditas global yang tengah melemah serta tekanan biaya operasional yang semakin tinggi.

“Kami merasa kebijakan ini kurang tepat. Kenaikan tarif royalti pasti berdampak pada profitabilitas, apalagi di tengah harga komoditas yang sedang rendah dan kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja,” kata Hendra saat dihubungi, Senin, 21 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menjelaskan bahwa dalam tiga bulan pertama tahun ini, pelaku usaha tambang sudah dihadapkan pada berbagai tekanan biaya. Seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, pengurangan subsidi B40, serta kewajiban menyimpan 100 persen dana hasil ekspor di dalam negeri selama 12 bulan. Dia mengatakan deretan tambahan biaya baru tersebut berdampak langsung pada beban operasional perusahaan.

“Kalau biaya terus naik dan harga terus turun, ya otomatis margin keuntungan tergerus. Sekarang ditambah royalti yang naiknya bisa sampai lebih dari 100 persen untuk beberapa komoditas, itu sangat berat,” tambahnya.

Dia menyebut kenaikan tarif ini berpotensi memengaruhi rencana produksi dan investasi perusahaan. Bahkan, dalam skenario terburuk, perusahaan bisa mengurangi produksi atau melakukan efisiensi tenaga kerja.

“Kalau perusahaan terus merugi, salah satu langkah yang mungkin diambil adalah mengurangi tenaga kerja. Itu hal yang lazim dalam dunia usaha,” katanya.

Terkait pelibatan pelaku industri dalam penyusunan kenaikan tarif royalti minerba, ia menyatakan hanya ada satu kali pertemuan yang diadakan pemerintah, yakni pada 8 Maret lalu. Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 400 peserta, namun menurutnya belum cukup untuk menggambarkan dialog yang komprehensif antara regulator dan pelaku usaha.

“Saya kira pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan ini. Selama ini sektor pertambangan sudah berkontribusi besar terhadap penerimaan negara, bahkan selalu melampaui target. Justru sektor seperti inilah yang seharusnya diberi ruang untuk bertumbuh, bukan dibebani lebih,” jelasnya.

Hendra berharap pemerintah dapat mengevaluasi kebijakan ini secara lebih matang. “Permintaan global terhadap komoditas masih tinggi, meski harga rendah karena oversupply. Ini justru momentum yang seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat sektor pertambangan, bukan memperlemah. Tapi karena sudah berlaku, ya kami pelaku industri harus beradaptasi, walaupun berat,” ujarnya.

Sebelumnya pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 yang mengatur kenaikan tarif royalti sektor mineral dan batu bara. Kebijakan ini mulai berlaku efektif pada 26 April 2025 dan bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor energi dan sumber daya mineral

Kenaikan royalti yang cukup signifikan terjadi pada komoditas nikel. Tarif royalti bijih nikel yang sebelumnya sebesar 10 persen kini menjadi tarif progresif antara 14 persen hingga 19 persen, tergantung pada Harga Mineral Acuan (HMA). Untuk produk turunan seperti nickel pig iron dan feronikel, tarif royalti naik menjadi 5 persen hingga 7 persen, sementara nickel matte dikenakan tarif 4,5 persen hingga 6,5 persen.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |