TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan indikasi adanya unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam kasus dugaan pembunuhan jurnalis Juwita di Banjarbaru, Kalimantan Selatan oleh anggota TNI Angkatan Laut, Kelasi Satu Jumran.
Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati mengatakan indikasi tersebut diduga terjadi sebelum pembunuhan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a dan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hal ini dapat memperberat hukuman bagi pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami mendorong agar dugaan adanya kekerasan seksual juga diproses sesuai hukum yang berlaku. Jika ditemukan bukti baru, kami berharap penyidik dan aparat terkait bersedia membuka penyelidikan lanjutan,” kata Suparyati dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin, 21 April 2025.
Indikasi unsur TPKS tersebut ditemukan LPSK setelah melakukan investigasi lapangan pada 17–18 April 2025. Langkah ini dilakukan untuk memastikan hak-hak saksi dan keluarga korban terpenuhi serta mendalami perkembangan proses hukum.
Kuasa hukum dari pihak keluarga, Muhamad Pazri, sebelumnya juga menyebutkan dugaan rudapaksa tersebut berdasarkan alat bukti digital dan temuan sperma serta luka lebam di kemaluan korban saat autopsi.
LPSK menemui keluarga korban, saksi, penyidik polisi militer, oditur militer, hingga mengunjungi lokasi kejadian dan pihak terkait, termasuk perusahaan rental mobil yang kendaraannya digunakan oleh pelaku dalam membunuh korban.
Suparyati menjelaskan, LPSK telah menyampaikan kepada keluarga korban bahwa mereka memiliki hak atas fasilitas restitusi sebagai bagian dari pemulihan atas kejahatan tersebut.
Di samping itu, LPSK akan melakukan pendampingan selama proses persidangan kepada saksi dan keluarga korban dalam seluruh proses hukum. “Ketika ada persidangan nanti, saksi kami jemput, lalu kemudian kami fasilitasi pendampingan selama persidangan bersama kuasa hukum,” ujar Suparyati.
Juwita, 23 tahun, ditemukan meninggal di Gunung Kupang, Kelurahan Cempaka, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, 22 Maret 2025, sekitar pukul 15.00 Wita. Jasad Juwita ditemukan tergeletak di tepi jalan bersama sepeda motornya.
Korban sempat diduga meninggal karena kecelakaan tunggal, namun berdasarkan penyelidikan pada laptop Juwita, akhirnya diketahui bukti percakapan melalui whatsapp dengan tersangka Jumran sebelum ditemukan tewas.
Selama ini, Jumran dikenal sebagai tunangan Juwita. Anggota TNI AL yang baru sebulan pindah ke Pangkalan TNI Angkatan Laut Balikpapan dan Banjarmasin, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Pada 8 April 2025, Penyidik Detasemen Polisi Militer TNI Angkatan Laut Banjarmasin telah menyerahkan tersangka Jumran kepada Oditurat Militer (Odmil) III-15 Banjarmasin untuk diproses lebih lanjut.
LPSK Terima 6 Permohonan Perlindungan Saksi
LPSK menerima enam permohonan perlindungan dari keluarga korban dan saksi terkait kasus dugaan pembunuhan Juwita. "Permohonan mencakup pendampingan hukum, bantuan psikologis, hingga fasilitasi restitusi," ucap Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati.
Dia mengatakan LPSK berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum kasus pembunuhan jurnalis tersebut secara aktif sekaligus memastikan hak-hak korban dan keluarganya dipenuhi secara adil.
"LPSK juga membuka ruang bagi siapa pun yang memiliki informasi atau bukti tambahan untuk turut memperkuat proses penegakan hukum," katanya.
LPSK akan melakukan pendampingan selama proses persidangan kepada korban atau ahli waris dalam seluruh proses hukum.
Dia juga menuturkan bahwa LPSK telah menjelaskan bentuk perlindungan maupun pemulihan yang dapat diterima keluarga korban dan saksi dalam kasus ini.
Restitusi untuk Keluarga Korban
LPSK mengatakan keluarga korban pembunuhan jurnalis Juwita berhak atas restitusi atau ganti rugi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022.
“Restitusi ini adalah bentuk ganti yang diberikan oleh tersangka atau terpidana ataupun pihak ketiga, kepada korban atau keluarga korban,” kata Sri Suparyati di Banjarbaru, Sabtu lalu.
Saat kunjungan ke Banjarbaru, LPSK berkoordinasi dengan pihak keluarga korban apakah restitusi tersebut telah didapatkan, karena ini merupakan hak bagi keluarga korban.
LPSK juga telah menyampaikan hak restitusi tersebut kepada aparat penegak hukum yang menangani kasus ini, yakni pihak Oditurat Militer (Odmil) III-15 Banjarmasin dan Detasemen Polisi Militer TNI Angkatan Laut (Denpomal) Banjarmasin.
Dalam Pasal 7a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur bahwa restitusi diajukan sebelum keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Belajar dari Kasus Pembunuhan Bos Rental
Tuntutan restitusi ini pernah diajukan oditur militer terhadap tiga anggota TNI AL yang membunuh seorang bos rental mobil Ilyas Abdurrahman di rest area KM45 jalan tol Tangerang-Merak pada 2 Januari 2025.
Sebelumnya, oditur militer menuntut ketiga anggota TNI AL terdakwa penembakan bos rental itu untuk membayar restitusi dalam jumlah berbeda. Terdakwa atas nama Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo semula dituntut membayar restitusi kepada keluarga almarhum Ilyas Abdurrahman sebesar Rp 209.633.500 dan membayar restitusi kepada saudara Ramli, korban luka, sebesar Rp 146.354.200.
Sertu Akbar Adli, yang juga divonis penjara seumur hidup, dituntut membayar restitusi sebesar Rp 147.133.500 kepada keluarga Ilyas dan sebesar Rp 73.177.100 kepada keluarga Ramli.
Sertu Rafsin Hermawan, yang divonis empat tahun penjara karena terlibat melakukan penadahan bersama Bambang dan Adli, juga dituntut membayar restitusi sebesar Rp 147.133.500 kepada keluarga Ilyas dan sebesar Rp 73.177.100 kepada keluarga Ramli.
Namun Majelis Hakim Pengadilan Militer II-08 Jakarta menolak permohonan restitusi atau ganti rugi yang diajukan keluarga korban dalam sidang 25 Maret 2025.