TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Prancis mengklaim bahwa pria yang dituduh menikam seorang warga Muslim Mali hingga tewas di sebuah masjid bukan teroris. Seperti dilansir Arab News, jaksa menyebut tersangka pembunuh itu tampaknya bertindak sendirian karena dorongan obsesif "untuk membunuh.”
Seorang warga negara Prancis asal Bosnia diduga menikam Aboubakar Cisse sebanyak 57 kali di La Grand-Combe pada Jumat pekan lalu. Olivier Hadzovic kemudian memfilmkan korbannya yang menggeliat kesakitan hingga tewas dan menyerahkan diri kepada polisi di Italia. Ia sedang menunggu ekstradisi ke Prancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cecile Gensac, jaksa penuntut umum untuk kota selatan terdekat Nimes, mengatakan tersangka berusia 20 tahun, Hadzovic, "didorong oleh keinginan kuat untuk membunuh seseorang dan jika gagal, ingin bunuh diri."
Pelaku memberi tahu seseorang secara daring bahwa dia akan "melakukannya di jalan," sebelum mempertimbangkan untuk menyerang masjid.
Begitu masuk ke dalam, dia menulis: "Dia berkulit hitam. Saya akan melakukannya."
Dia tampaknya memiliki "motif yang sangat pribadi," dan kejahatan itu tidak diperlakukan sebagai "teroris" karena tidak terkait dengan "klaim ideologis," ujar Gensac.
Pembunuhan Cisse mendorong Presiden Emmanuel Macron untuk menegaskan tidak ada tempat bagi kebencian agama di masyarakat Prancis.
Sebelumnya, sekitar 700 orang mendoakan Cisse di pemakaman di masjid yang sama tempat ia menjadi merbot. Para jamaah salat jenazah di depan peti jenazah yang ditutupi kain hijau.
Cisse, yang tiba di Prancis saat remaja tanpa dokumen, berasal dari Yaguine di Mali barat daya, tempat ia akan dimakamkan di kemudian hari.
"Ini adalah tindakan kebencian yang benar-benar luar biasa di tempat yang sangat damai," kata Dominique Sopo, seorang perwakilan kelompok kampanye SOS Racisme.
Ratusan orang lainnya mendoakan korban di sebuah kota di luar Paris. "Dengan kurangnya dukungan dari media dan politisi, kami benar-benar sedih dan takut," kata Abdelghani Bentrari, yang bertanggung jawab atas masjid di Kota Tremblay.
Prancis memiliki komunitas Muslim terbesar di Uni Eropa, dan pembunuhan tersebut telah menempatkan Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau, seorang politikus ekstremis sayap kanan dengan sikap keras terhadap imigrasi, di bawah tekanan khusus.
Dia belum mengunjungi tempat pembunuhan di La Grand-Combe dan telah dikritik karena tidak menemukan waktu untuk bertemu keluarga Cisse.
Berbicara kepada CNews, media ekstremis sayap kanan Prancis, Retailleau pekan ini mengklaim kesulitan menemukan keluarga Cisse karena dia berada di Prancis tanpa izin tinggal.
Anggota parlemen Prancis pada Selasa melakukan hening cipta selama satu menit untuk menghormati Cisse dan beberapa anggota parlemen bertemu dengan kerabat korban.
Menurut sumber yang dekat dengan kasus tersebut, Retailleau akan bertemu keluarga Cisse di Paris pada Senin, ketika peti jenazahnya akan berada di ibu kota untuk peringatan lainnya.
Cisse, yang dijuluki "Bouba," lahir di Mali pada 2003.
Dia menyeberangi Laut Tengah dan tiba di wilayah Paris pada 2018, kata pamannya. Dia melakukan perjalanan ke Prancis selatan pada 2019 karena "dia tidak ingin menjadi beban" bagi kerabatnya.
Di Grand Combe, warga mengingatnya sebagai seorang pemuda pendiam yang membantu membersihkan masjid dan terkadang membawa pizza untuk dibagikan meskipun tidak punya banyak uang.
Jaksa penuntut mengatakan tersangka berasal dari keluarga Kristen yang tidak menjalankan ajarannya dengan 11 anak. Dia "sangat, sangat sering" muncul di media sosial, di mana dia menonton video-video kekerasan, termasuk video orang-orang yang melukai diri mereka sendiri.
Dalam video yang dibuat tepat setelah penusukan, si pembunuh memberi selamat pada dirinya sendiri, dengan mengatakan "Saya melakukannya" dan menghina "Allah."
Seorang saksi mengatakan bahwa tersangka menggambarkan dirinya sebagai "skizofrenia" setelah pembunuhan itu.
Seorang pria yang diidentifikasi sebagai ayah tersangka mengatakan kepada penyiar BFMTV pada Jumat bahwa putranya "gila" dan meminta maaf kepada keluarga Cisse.
Mourad Battikh, seorang pengacara yang mewakili keluarga korban, mengatakan sebelumnya bahwa pembunuhan tersebut harus diklasifikasikan kembali sebagai "serangan teroris." "Komunitas Muslim harus diperlakukan dengan cara yang sama seperti warga negara lainnya," katanya.