INFO NASIONAL – Kapal kayu bermesin mengapung perlahan, keluar dari kampung nelayan di Kamal Muara, Jakarta Utara. Mis’ari, Kepala Unit Pengelola Museum Kebaharian, duduk di dekat buritan, menjelaskan bahwa lawatan ke Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Onrust di Kabupaten Kepulauan Seribu, bertepatan dengan World Heritage Day atau Hari Warisan Dunia yang diperingati setiap 18 April.
“Harapannya agar masyarakat Jakarta juga dapat mengunjungi dan belajar sejarah ke pulau-pulau ini, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Apalagi kita sedang menyongsong lima abad Jakarta, jadi harus tahu titik-titik penting sejarah kota ini,” ujarnya kepada peserta rombongan—diselingi deru mesin kapal.
Demi menyebarkan sejarah penting itu, perempuan yang akrab disapa Bu Ari, memboyong sepuluh pemengaruh atau influencer/vlogger, dua perwakilan dari Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, dan tim Info Tempo. Peserta tampak bersemangat mengabadikan beragam momen sepanjang perjalanan. Tak terasa, sekitar 30 menit kemudian perahu telah bersandar di destinasi pertama, Pulau Cipir.
Ketika para pemengaruh berkeliling pulau, kesempatan ini digunakan Bu Ari bersama jajarannya mengecek sarana dan prasarana yang ada. Satu bulan sebelumnya, Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Rano Karno, berkunjung ke pulau ini. Ia berpesan untuk meningkatkan fasilitas yang membuat pengunjung lebih nyaman, termasuk penerapan teknologi digital.
“Beberapa situs di sini sebenarnya sudah dipasang barcode. Pengunjung tinggal memindainya, nanti akan diarahkan ke laman Museo.id yang memberi penjelasan tentang situs tersebut secara lengkap,” tutur Bu Ari.
Kepala Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta, Mis'ari di Pulau Onrust di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, pada Jumat, 18 April 2025. TEMPO/ Abdul Karim
Namun, ia melanjutkan, akan menambah fasilitas teknologi lainnya. Salah satu yang sedang tren adalah teknologi immersive. “Nanti pengunjung bisa merasakan seperti apa suasana zaman dahulu dengan bantuan AI (kecerdasan buatan) seolah mereka mengalami langsung,” ucap perempuan yang pernah berprofesi sebagai guru ini.
Museum Kebaharian juga tengah berupaya menggandeng pihak swasta untuk menghadirkan kafe-kafe mini di pulau ini. “Sesuai amanat Pak Wagub, karena dia sangat antusias menjadikan tempat ini sebagai salah satu destinasi untuk warga Jakarta,” kata Bu Ari.
Saat ini masyarakat yang ingin berwisata dapat menuju Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Onrust dari Kamal Muara atau Marina Ancol. Waktu tempuh hanya sekitar setengah jam karena pulau-pulau ini jaraknya berkisar 4 kilometer dari bibir pantai. Harga tiket di Pulau Cipir untuk dewasa Rp 10.000 sepanjang Selasa-Jumat, dan Rp 15.000 di akhir pekan. Sedangkan anak-anak, pelajar, dan mahasiswa cukup membayar Rp 5.000.
Adapun ongkos menyeberang dengan perahu nelayan dari Kamal Muara sekitar Rp 45.000 per orang. Jika ingin lebih nyaman dapat menggunakan speed boat dari Marina, namun ongkosnya bisa dua atau tiga kali lipat. Pasalnya, akses transportasi publik ke Kamal Muara masih belum memadai. Terlebih, masih tingginya biaya perjalanan menjadi tantangan Pemprov DKI dalam mendorong lebih banyak kunjungan wisata.
“Tapi jangan khawatir,” ucap Bu Ari. “Dinas Perhubungan sedang menyiapkan trayek dari Pelabuhan Kali Adem di Muara Angke, sehingga masyarakat nantinya lebih mudah karena di sana sudah ada trayek bus Transjakarta.”
Pulau Kelor di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, pada Jumat, 18 April 2025. TEMPO/ Abdul Karim
Setelah puas mengelilingi Pulau Cipir (sebagian kalangan juga menyebutnya Pulau Khayangan), rombongan bertolak ke Pulau Onrust. Rencana singgah ke Pulau Kelor dibatalkan karena pelabuhan terapung yang telah dibangun oleh Dinas Lingkungan Hidup kembali hancur. Perahu maupun speed boat tidak dapat bersandar. Hanya delapan dari total peserta yang singgah ke Pulau Kelor untuk mengambil gambar. Mereka menggunakan perahu karet milik salah satu staf Museum Kebaharian yang dapat mendarat mulus di bibir pantai.
“Dari hasil kunjungan ini, sekaligus nanti akan kami laporkan sehingga mereka dapat mengantisipasi dan membuat pelabuhan yang lebih kokoh. Itulah salah satu fungsi pengecekan yang kami jalankan,” tutur perempuan kelahiran Cirebon ini.
Abrasi menjadi salah satu tantangan besar pelestarian pulau-pulau bersejarah ini. Menurut Edukator Museum Kebaharian Ridwan Saide, dari arsip-arsip di era Hindia-Belanda, Pulau Cipir awalnya seluas 14 hektare dan kini tersisa 4 hektare. Sedangkan Pulau Onrust dari 14 hektare menyisakan 7,5 hektare. Sebagian situs-situs bersejarah telah lenyap tersapu ombak.
Selain tiga pulau itu, sebenarnya Pulau Bidadari juga di bawah Pengelola Museum Kebaharian. Namun lawatan kali ini menjadikan Pulau Onrust sebagai destinasi terakhir lawatan. Rombongan makan siang, berkeliling, dan beristirahat di pulau ini lalu kembali ke Kamal Muara sebelum matahari tergelincir ke ufuk Barat.
Benteng, Embarkasi Haji hingga Jeruji
Pulau Cipir, Pulau Kelor, Pulau Onrust, dan Pulau Bidadari, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Jakarta. Nama Pulau Cipir sebenarnya berasal dari penamaan oleh bangsa Belanda, yaitu Kuyper. Disinyalir, lidah penduduk lebih mudah mengucap sebagai “Cipir”.
Sedangkan Pulau Onrust juga dinamai oleh bangsa Belanda, tepatnya di era VOC. Onrust berarti ‘jalan terus’ atau ‘sibuk’, atau ‘tanpa istirahat’, atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Un Rest.
Empat pulau ini memiliki peran penting sejak kedatangan VOC di abad 17. Selain dijadikan benteng pertahanan, juga berfungsi sebagai pergudangan, bongkar muat barang komoditi, dan perbaikan kapal-kapal layar yang besar-besar. Di sisi kanan pelabuhan Pulau Onrust (dekat monumen kincir angin) masih terlihat batas-batas dock (tempat perbaikan kapal) yang kini sudah tertutup tanah.
Mengutip buku hasil karya Candrian Attahiyyat, Onrust dan Sekitarnya—Gugusan Pulau Bersejarah di Teluk Jakarta, Pulau Onrust menjadi titik penting jatuhnya Jayakarta ke dalam genggaman VOC pada 30 Mei 1619. Di pulau inilah, Belanda—yang sempat kalah perang kontra Jayakarta dan kabur ke Maluku beberapa bulan sebelumnya—melakukan konsolidasi pasukannya untuk merebut Jayakarta. Setelah sukses, nama kota tersebut akhirnya diubah menjadi Batavia.
Walau demikian, pembangunan fisik di gugusan pulau ini telah dilaksanakan oleh VOC ketika masih di bawah ‘masa damai’ dengan pemerintahan Jayakarta. Seperti disebut sebelumnya, mereka mendirikan benteng bundar (yang kini menjadi ikon Pulau Kelor), galangan, dan gudang-gudang.
Dalam perkembangannya, turut dibangun kincir angin—sekarang sudah hancur tak tersisa, dan difungsikan untuk mempercepat proses menggergaji kayu menjadi papan. Bangunan ini, menurut Edukator Ridwan Saide, menjadi bukti kemajuan teknologi yang terjadi di era kolonial. “Bahkan, di masa tersebut juga menggunakan reservoirdengan teknologi sumur artesis yang memungkinkan air tanah memancar tanpa henti,” katanya.
Pada abad 18, 19, dan awal abad 20, Pulau Onrust beralih fungsi menjadi tempat karantina sekaligus memakamkan pasien yang gagal sembuh. Mulai dari wabah malaria, kolera, hingga penyakit kencing tikus atau Leptospirosis.
Wabah penyakit menular yang diduga berasal dari luar negeri itu menjadi pemicu Pemerintah Hindia-Belanda mengubah fungsi Pulau Cipir dan Pulau Onrust sebagai embarkasi haji sejak 1911. artinya, jemaah haji yang hendak berangkat menuju Mekkah dan kembali ke Pulau Jawa diwajibkan masuk karantina untuk menjalani pemeriksaan kesehatan.
Karantina di Pulau Onrust dan Pulau Cipir mampu menampung hingga 3.500 orang. Pulau Cipir difungsikan sebagai tempat pemeriksaan awal, sehingga hanya dilengkapi beberapa rumah pasien dan fasilitas rumah sakit. Mereka yang terbukti terinfeksi setelah pemeriksaan akan dirawat di Pulau Cipir. Sementara itu, orang-orang yang dinyatakan negatif dipindahkan ke Pulau Onrust untuk menjalani observasi. Di sana tersedia 35 barak, masing-masing berkapasitas 100 orang, serta fasilitas rumah sakit pendukung.
Influencer dan vlogger sedang mengabadikan beragam momen sepanjang perjalanan di Pulau Onrust di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, pada Jumat, 18 April 2025. TEMPO/ Abdul Karim
Bagaimana proses pemeriksaan kesehatan di karantina ini? Setiap kapal yang datang tidak boleh langsung menurunkan penumpang di Tanjung Priok. Kapten kapal wajib mengisi formulir berisi 20 pertanyaan dari petugas syahbandar. Keputusan bongkar muat ditentukan oleh dokter pelabuhan.
Jika ada indikasi penyakit menular, kapal beserta penumpang dan barangnya dikarantina. Awak kapal dan penumpang diperiksa di Pulau Cipir. Pakaian mereka disterilkan dan diganti dengan pakaian karantina. Mereka yang terbukti positif dirawat di Pulau Cipir, sedangkan yang negatif dipindahkan ke Pulau Onrust menggunakan ponton dengan eretan besi.
“Masih ada sisa-sisa pilar dermaga antara Pulau Cipir dan Pulau Onrust yang membuat jarak antara dua pulau tersebut tidak terlalu jauh dan mudah dilayari oleh ponton,” ucap Ridwan Saide saat menunjukkan sisa-sisa situs itu di salah satu sisi Pulau Cipir. Sedangkan sisa-sisa reruntuhan barak untuk menginap para jemaah dan rumah sakit di dua pulau tersebut masih dapat dilihat, saat ini.
Peristiwa pemberontakan di atas kapal perang Belanda De Seven Provincien pada 1933, menandai era baru di Pulau Onrust. Yakni, sebagai tempat tahanan. Para pemberontak—atau dapat disebut pula pejuang kemerdekaan—yang masih hidup setelah kapal itu dibom oleh pemerintahan kolonial, dibawa ke Onrust dan disiksa selama 7-9 bulan. Fungsi pulau sebagai rumah tahanan berlanjut ketika Jepang menguasai Hindia-Belanda sepanjang 1942-1945. Kabarnya, tokoh PKI DN Aidit dan Lukman pernah ditawan di tempat ini.
Di Pulau Onrust juga menyisakan kompleks pemakaman tempat bersemayam warga Belanda. Salah satu makam yang menjadi daya tarik adalah milik Maria Van de Velde. Kuburan itu mempunyai batu nisan besar, mewah, dan berukir. Nisan itu menerakan puisi yang menggambarkan cinta, duka dan kenangan.
Di luar kompleks makam khusus warga Belanda, juga terdapat 13 makam milik pribumi. Sayangnya, nisan di kuburan sudah tidak terbaca. Dari seluruh gundukan itu, terdapat dua kuburan yang diberikan atap peneduh dan diberi pagar.
Menurut keterangan penduduk Pulau Untung Jawa, salah satu dari kuburan yang dikeramatkan adalah tokoh masyarakat nelayan sekaligus tokoh agama Islam di sekitar pesisir Jakarta bernama Haji Mohamad Hasan. Sedangkan satu lainnya milik Kartosoewirjo, tokoh pemberontak DI/TII yang dieksekusi oleh TNI di salah satu pulau di Kepulauan Seribu.
“Sebenarnya agak sulit membuktikan karena tidak ada nama di nisannya,” ucap Ridwan Saide saat menemani Info Tempo mengamati makam itu. “Namun dalam buku yang ditulis Pak Candrian, cukup meyakini cerita dari rakyat sekitar pulau yang menjadi saksi mata, kendati belum diketahui dari dua makam itu, mana milik Haji Hasan dan mana milik Kartosoewirjo.” (*)