Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto mendampingi Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin bersama Menteri ESDM Bahlil L, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh serta Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) meninjau langsung proses penertiban kegiatan usaha pertambangan di Dusun Nadi, Desa Lubuk Lingkuk, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, Rabu (19/11/2025). Kunjungan ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas maraknya aktivitas tambang timah ilegal yang berada di dalam kawasan hutan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelesaian persoalan legalitas lahan merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Kepala Pusat Studi Sawit IPB University, Prof Budi Mulyanto mendorong pemerintah segera melakukan penataan batas kawasan hutan secara lengkap dan rinci.
Hal itu sesuai prosedur yang diatur dalam UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta memastikan setiap proses penetapan kawasan hutan dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat. Budi menyoroti implementasi Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menimbulkan keresahan luas di kalangan petani.
"Peta kawasan hutan yang selama ini dipakai pemerintah sebagai dasar berbagai tindakan penertiban, termasuk terhadap kebun sawit rakyat, tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum kebenaran," kata Budi dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Satgas PKH per 1 Oktober 2025, telah menyita sekitar 3,4 juta hektare lahan sawit ilegal masuk kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta hektare lahan sawit telah diserahkan pengelolaannya kepada PT Agrinas Palma Nusantara.
Menurut Budi, masalah inti berada pada lemahnya proses penyusunan peta kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dia menilai, peta tersebut lahir dari prosedur yang tidak sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hak atas tanah.
Budi menyebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selama puluhan tahun melakukan penataan batas kawasan hutan dengan sistem prioritasisasi karena keterbatasan anggaran. Metode itu bisa berkonsekuensi fatal.
"Penataan batas dilakukan hanya pada batas luar kawasan terlebih dahulu, sementara permukiman, fasum, fasos, dan kebun masyarakat di dalamnya tidak pernah ditata secara detail. Hasilnya peta kawasan hutan tidak final, tidak lengkap, dan tidak dapat dijadikan dasar hukum," kata Budi.

53 minutes ago
1










































