
Oleh : DANI LUKMAN HAKIM, Ahli Ketahanan Pangan dan Analis Geopolitik Komoditas, Dosen Teknologi Pengolahan Sawit, Institut Teknologi Sains Bandung (ITSB), Direktur Lembaga Riset, Pengabdian dan Pengembangan Bisnis - ITSB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjir besar yang menghantam Sumatra dan Kalimantan beberapa waktu lalu kembali menyingkap kelemahan mendasar dalam tata kelola ruang di Indonesia. Curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim memang menjadi pemicu langsung, tetapi skala kerusakan yang terjadi menunjukkan adanya persoalan yang jauh lebih dalam: memburuknya kualitas daerah aliran sungai (DAS), maraknya penebangan liar, pembukaan lahan tanpa pengawasan, serta lemahnya penegakan aturan di kawasan lindung.
Ketika fungsi ekologis hulu tidak lagi mampu menyerap dan menahan air, hujan yang semestinya dapat dikendalikan justru berubah menjadi banjir bandang. Namun perdebatan publik sering kali menyudutkan kelapa sawit dan pertambangan sebagai penyebab utama, padahal data menunjukkan cerita yang jauh lebih kompleks. Dari sekitar 261 ribu hektar deforestasi pada 2024, hanya 14 persen yang terkait ekspansi sawit, sementara 86 persen berasal dari aktivitas ilegal dan penggunaan lahan tak berizin. Penyederhanaan masalah seperti ini hanya mengaburkan akar persoalan dan membuat kita gagal melihat solusi yang lebih strategis.
Di sisi lain, sawit dan tambang merupakan sektor sangat penting bagi perekonomian nasional. Perkebunan kelapa sawit Indonesia mencakup 17,3 juta hektar, memproduksi lebih dari 46 juta ton CPO per tahun, menyumbang hingga 4,5 persen PDB, dan menjadi penopang hidup lebih dari 16 juta pekerja. Sawit juga berperan besar dalam transisi energi hijau melalui program biodiesel B35–B40 yang menyerap 40 persen produksi sawit dan menghemat sekitar Rp 90 triliun impor solar setiap tahun.
Di sisi pertambangan, Indonesia memiliki posisi kunci dalam rantai pasok global kendaraan listrik, dengan permintaan nikel dunia diprediksi naik 2,5 kali lipat pada 2030. Karena itu, menghentikan ekspansi sawit atau tambang secara drastis bukanlah pilihan realistis. Tantangan kita bukan pada keberadaan sektor tersebut, melainkan bagaimana mengelolanya secara benar, transparan, dan berkelanjutan.
Untuk keluar dari lingkaran bencana lingkungan, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk memimpin dunia. Kita dapat memperkenalkan model tata kelola sumber daya alam yang belum pernah ada sebelumnya, sebuah pendekatan inovatif yang menggabungkan data hidrologi, ekologi, teknologi digital, dan partisipasi masyarakat dalam satu kerangka besar: Eco-Sovereign Development Model, terobosan tata kelola sumber daya berbasis kedaulatan ekologis dan ekonomi.
Terobosan pertama adalah penerapan Hydro-Eco Zoning System, sistem pemetaan ruang dinamis berbasis kecerdasan buatan yang diperbarui setiap bulan menggunakan citra satelit, ramalan curah hujan, pemodelan erosi, dan prediksi limpasan air secara real time. Berbeda dengan peta tata ruang yang statis, sistem ini memungkinkan izin sawit dan tambang otomatis disesuaikan, diperketat atau dilonggarkan berdasarkan tingkat risiko hidrologis aktual. Tidak ada negara di dunia yang menerapkan zonasi lingkungan adaptif seperti ini.
Terobosan kedua adalah kewajiban No-Net-Loss Watershed Obligation, yaitu aturan yang mewajibkan setiap perusahaan sawit dan tambang untuk memastikan tidak terjadi penurunan fungsi DAS akibat aktivitas mereka. Jika konversi lahan tidak bisa dihindari, perusahaan wajib memulihkan kapasitas resapan air di lokasi lain dalam DAS yang sama. Pemulihan ini tidak lagi diukur hanya dengan jumlah hektar, tetapi dengan kinerja ekologis nyata mulai dari daya infiltrasi, kepadatan tajuk, stabilitas lereng, hingga kontrol sedimen.
Terobosan ketiga adalah penerapan Bio-Buffer Rings, yaitu sabuk vegetasi selebar 150–300 meter yang mengelilingi area kebun dan tambang. Sabuk ini terdiri dari pohon berakar dalam, rumpun bambu, dan tanaman semak bertingkat yang dirancang khusus untuk menyerap air, menahan erosi, dan meminimalkan limpasan. Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan rekayasa hidrologi vegetatif seperti ini secara nasional.
Terobosan keempat adalah penggunaan GeoTrace Blockchain Ledger, sistem pelacakan berbasis blockchain yang mencatat asal-usul, legalitas, kepatuhan hidrologis, jejak karbon, dan persetujuan masyarakat dari setiap ton CPO atau mineral yang keluar dari Indonesia. Dengan sistem ini, produk ilegal otomatis tersingkir dari rantai pasok, sekaligus menjadikan Indonesia negara pertama yang menerapkan sertifikasi keberlanjutan berbasis blockchain sebagai standar nasional.
Terobosan kelima adalah pembentukan Community Climate Guardians (CCG) pasukan penjaga iklim berbasis masyarakat. Mereka bertugas mengawasi DAS, mencegah penebangan liar, memantau reklamasi tambang, mendata kesehatan hutan, serta melaporkan pelanggaran melalui aplikasi nasional. Inisiatif ini akan menjadi program perlindungan lingkungan berbasis komunitas terbesar di dunia.
Dengan lima strategi terobosan ini, Indonesia tidak hanya mengurangi risiko banjir dan kerusakan ekologis, tetapi juga mengokohkan dirinya sebagai pemimpin global dalam pengelolaan sumber daya alam di era perubahan iklim. Aktivitas ilegal akan ditekan melalui pelacakan digital; degradasi DAS dapat dicegah melalui zonasi hidrologis adaptif; risiko banjir turun drastis berkat sabuk vegetasi; petani sawit akan mendapat manfaat dari pasar yang lebih stabil dan transparan; sementara sektor tambang menjadi model ekstraksi yang bertanggung jawab dan selaras dengan ekonomi energi hijau.
Banjir yang terjadi hari ini bukan sekadar bencana, tetapi juga peringatan keras sekaligus peluang bersejarah. Jika berani mengambil langkah maju, Indonesia dapat mendefinisikan ulang konsep pembangunan berkelanjutan, menunjukkan bahwa ekonomi dan ekologi tidak harus saling bertentangan. Dengan tata kelola yang berbasis data, teknologi, dan pemberdayaan masyarakat, Indonesia dapat menjadi pelopor dunia negara yang membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan dan ketahanan iklim. Terobosan seperti inilah yang layak menjadi warisan Indonesia bagi dunia.

2 hours ago
1











































