REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah diminta menghentikan pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Saran tersebut melihat ancaman banjir bandang dan tanah longsor akibat perluasan perkebunan monokultur yang menghabisi lahan-lahan hutan alami di Pulau Andalas.
Banjir bandang dan tanah longsor diketahui menghantam tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Lebih dari 700 jiwa meninggal dunia dan ratusan warga lainnya masih dinyatakan hilang.
Peneliti Senior Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sugeng Budiharta mengatakan, Sumatera merupakan wilayah dengan dominasi kawasan hutan yang landscape-nya berlereng-lereng perbukitan dataran tinggi dan pegunungan, dengan kontur tanah vulkanis gembur yang subur, juga bercurah hujan tinggi. Geografis dan geologis di Sumatera itu, kata Sugeng, sebetulnya tak cocok untuk ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit, pun pertambangan.
Spesifikasi lingkungan yang seperti itu sudah dijadikan acuan sejak kolonialisme Belanda. “Itu lah kenapa Belanda, zaman dulu itu menggunakan ilmunya, itu dengan menetapkan kawasan Sumatera yang sekarang kita ketahui sebagai hutan lindung. Belanda menempatkan dataran-dataran tinggi, dengan kelerengan cukup terjal, curah hujan yang tinggi sebagai kawasan hutan lindung,” kata Sugeng kepada Republika, Rabu (3/12/2025).
Namun yang terjadi selama ini, menjadikan Sumatera sebagai wilayah ekspansif perkebunan kelapa sawit. Semakin parah, kata dia, pembukaan perkebunan kelapa sawit tersebut dilakukan dengan pembabatan hutan-hutan lindung di Sumatera secara ekspansif.
“Ada pembukaan-pembukaan yang itu di kawasan-kawasan dataran tinggi. Jadi dengan kondisi seperti itu, kemudian ditambah lagi dengan curah hujan tinggi, tanah gembur, akan tinggal menunggu waktu terjadinya banjir dan tanah longsor,” kata Sugeng.
Masyarakat asli di Sumatera, pun sejak lama mempertahankan prinsip pengelolaan lahan hutan untuk perkebunan yang beragam. Dan prinsip tersebut, secara keilmuan modern saat ini lebih relevan.
“Masyarakat lokal dengan kearifan lokalnya juga sebenernya telah memahami alamnya lalu mengembangkan caranya sendiri dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri karena mereka tahu lahannya rentan longsor,” ujar Sugeng.

1 hour ago
1












































