loading...
Harryanto Aryodiguno, Ph.D. Foto/Istimewa
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
LAUT China Selatan (LCS) telah lama menjadi salah satu kawasan maritim paling strategis dan kontroversial di dunia. Kaya akan sumber daya alam dan berfungsi sebagai jalur perdagangan internasional, kawasan ini menjadi arena persaingan geopolitik yang semakin memanas. Di tengah ketegangan ini, kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China pada 8 November 2024 menandai babak baru dalam hubungan Indonesia-China, terutama dalam konteks klaim LCS.
Kunjungan tersebut menghasilkan pernyataan bersama antara Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping , yang menekankan penguatan kerja sama bilateral, termasuk di bidang maritim dan pertahanan. Namun, isi pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana kerja sama ini akan memengaruhi kepentingan nasional Indonesia, khususnya dalam konteks kedaulatan maritim? Dengan menggunakan perspektif realisme, penulis akan menganalisis implikasi kunjungan tersebut terhadap kebijakan luar negeri dan strategi diplomasi Indonesia di LCS.
Realisme dan Politik Luar Negeri Indonesia
Realisme, sebagai kerangka teoretis dominan dalam studi Hubungan Internasional, memandang dunia sebagai arena persaingan kekuatan (power politics). Teori ini berasumsi bahwa negara adalah aktor utama yang bertindak berdasarkan kepentingan nasional untuk mempertahankan eksistensinya dalam sistem internasional yang anarkis. Hans Morgenthau, salah satu pelopor realisme, menegaskan bahwa kepentingan nasional selalu diukur dalam hal kekuatan. Dalam konteks LCS, klaim sembilan garis putus (nine-dash line) China mencerminkan upaya hegemonik untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan di kawasan.
Dari perspektif realisme, kebijakan luar negeri Indonesia seharusnya berorientasi pada perlindungan kedaulatan dan penguatan posisi strategis di LCS. Namun, dalam praktiknya, respons Indonesia terhadap klaim China sering kali bersifat ambigu. Sebagai negara non-pengklaim, Indonesia berupaya mempertahankan netralitas dan memainkan peran penengah. Namun, insiden pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia oleh kapal-kapal China menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi yang lunak memiliki keterbatasan.
Kritik terhadap Pendekatan Diplomasi Indonesia
Pernyataan bersama antara Presiden Prabowo dan Xi Jinping menyoroti kerja sama di bidang maritim, namun tidak secara eksplisit menolak klaim sembilan garis putus China. Dari perspektif realisme, ini dapat dilihat sebagai kelemahan diplomasi Indonesia yang tidak menegaskan kepentingan nasionalnya. Dalam hukum internasional, prinsip estoppel dapat mengikat suatu negara pada posisi tertentu jika pernyataan atau tindakan mereka dianggap mendukung klaim pihak lain.
Di satu sisi, Indonesia sering mengandalkan mekanisme multilateral melalui ASEAN untuk menangani konflik di LCS. Namun, realisme mengkritik ketergantungan ini karena ASEAN kerap kali terhambat oleh prinsip konsensus, yang memungkinkan negara-negara pro-China seperti Kamboja dan Laos memveto kebijakan yang lebih tegas terhadap China. Dalam hal ini, pendekatan multilateral tanpa dukungan kekuatan domestik (hard power) terbukti kurang efektif.
Kemudian, meskipun Indonesia telah meningkatkan latihan militer seperti Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK), fokus latihan lebih pada operasi non-militer, seperti penanganan bencana. Pendekatan ini tidak memadai untuk menghadapi ancaman tradisional di LCS, seperti kehadiran militer China Realisme menekankan pentingnya penguatan kekuatan militer sebagai alat utama untuk melindungi kepentingan nasional.
Dalam teori realisme, diplomasi jalur kedua (Second Track Diplomacy) bisa menjadi pelengkap yang efektif untuk jalur pertama. Namun, Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi forum seperti Western Pacific Naval Symposium (WPNS) untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan interoperabilitas di kawasan.
Implikasi Pernyataan Bersama antara Presiden Prabowo-Xi Jinping dalam Perspektif Realisme
Isi pernyataan yang menegaskan kerja sama maritim dapat dilihat sebagai upaya China untuk memperkuat posisinya di LCS tanpa menghadapi penolakan eksplisit dari Indonesia. Realisme mengajarkan bahwa kerja sama semacam ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat merugikan kepentingan strategis Indonesia. Ada tiga poin utama yang harus diperhatikan:
1. Risiko Pengakuan Implisit terhadap Klaim China
Jika kerja sama ini dilihat sebagai pengakuan terhadap klaim China, Indonesia berisiko kehilangan legitimasi dalam mempertahankan ZEE-nya di Natuna. Prinsip estoppel dapat digunakan untuk menekan Indonesia agar menerima klaim Tiongkok di forum internasional.
2. Peningkatan Ketergantungan Ekonomi
Salah satu aspek kerja sama yang ditekankan dalam komunike adalah peningkatan investasi China di sektor maritim. Dari perspektif realisme, peningkatan ketergantungan ekonomi ini dapat dimanfaatkan China untuk memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia, mengurangi daya tawar Indonesia dalam isu LCS.
3. Pengaruh terhadap Solidaritas ASEAN
Kerja sama bilateral Indonesia-China berpotensi melemahkan solidaritas ASEAN dalam menghadapi klaim China. Jika Indonesia dianggap terlalu dekat dengan China, negara-negara pengklaim lain seperti Vietnam dan Filipina mungkin kehilangan kepercayaan terhadap Indonesia sebagai mediator netral.
Untuk mempertahankan kedaulatan dan memperkuat posisi strategis di LCS, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih tegas dan strategis:
1. Penguatan Kekuatan Militer
Indonesia harus meningkatkan anggaran pertahanan maritim, termasuk pengadaan alutsista dan intensifikasi patroli oleh TNI AL dan Bakamla di Natuna. Kehadiran militer yang kuat akan memberikan daya gentar terhadap klaim dan provokasi Tiongkok.
2. Pendekatan Diplomasi yang Lebih Keras
Indonesia harus memanfaatkan forum internasional seperti PBB dan UNCLOS untuk menegaskan ketidakabsahan klaim sembilan garis putus. Pendekatan ini perlu didukung oleh upaya diplomasi yang lebih agresif di ASEAN untuk memperkuat posisi kolektif menolak klaim China.
3. Peningkatan Koalisi Strategis
Indonesia harus membentuk koalisi strategis dengan negara-negara yang memiliki kepentingan serupa, seperti Filipina dan Vietnam. Koalisi ini dapat memperkuat daya tawar Indonesia dalam negosiasi Code of Conduct (COC) dan forum lainnya.
4. Penguatan Diplomasi Jalur Kedua
Forum seperti WPNS harus dimanfaatkan lebih baik untuk membangun kepercayaan dan interoperabilitas di kawasan. Pendekatan ini dapat memperkuat kerja sama militer tanpa mengurangi kedaulatan nasional.
5. Peningkatan Kehadiran Sipil di Natuna
Selain kehadiran militer, Indonesia perlu mendorong aktivitas ekonomi dan sosial di Natuna untuk memperkuat klaimnya atas wilayah tersebut. Kehadiran nelayan lokal dan pembangunan infrastruktur maritim akan memperkuat posisi Indonesia dalam kerangka effective occupation.
Kunjungan Presiden Prabowo ke China dan pernyataan bersama dengan Presiden Xi Jinping merupakan momen penting dalam hubungan bilateral Indonesia-China. Namun, dari perspektif realisme, kerja sama ini harus dikelola dengan hati-hati agar tidak merugikan kepentingan strategis Indonesia di LCS. Kedaulatan Indonesia di LCS adalah kepentingan nasional yang tidak dapat ditawar, dan diplomasi yang tegas serta penguatan kekuatan militer harus menjadi prioritas utama.
Dengan langkah strategis yang tepat, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya, memperkuat posisinya di kawasan, dan tetap menjadi pemain kunci dalam menjaga stabilitas di LCS.
(zik)