loading...
Widodo Suryadi. Foto/Istimewa
Widodo Suryadi
Praktisi Perbankan dan Pemerhati Kebudayaan
MESKIPUN sedang ramai tentang penurunan daya beli kelas menengah belakangan ini, Indonesia tetap digadang-gadang sebagai kekuatan ekonomi baru. Apalagi dengan bonus demografi mayoritas penduduk Indonesia berada di rentang usia produktif, visi Indonesia Emas 2045 terus digaung-gaungkan ke semua penjuru.
Di balik optimisme ini, tetap ada kegelisahan dan kegalauan bagi semua pemerhati sejarah. Akankah kita masih tetap bisa menjadi satu bangsa yang tersatukan di tahun 2045 nanti? Salah satu hal yang mendasari kegalauan ini adalah menurunnya apresiasi kita terhadap Bahasa Indonesia yang telah membuktikan jati dirinya sebagai perekat kebangsaan selama hampir 1 abad ini.
Setiap kali kita memperingati Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober setiap tahunnya, kita selalu diingatkan kembali atas pengorbanan para pendiri bangsa dalam mengesampingkan perbedaan mereka demi terbentuknya satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya perkembangan teknologi, gaung Sumpah Pemuda ini perlahan-lahan menjadi keniscayaaan hampa. Sumpah yang begitu sakral dan menjadi fondasi berdirinya Republik tercinta ini terkesan hanya menjadi suatu formalitas sejarah belaka.
Ketika kita menelusuri kembali perjalanan sejarah Indonesia dari 28 Oktober 1928 hingga saat ini, pasti timbul pertanyaan mengapa kita masih bisa bersatu sebagai satu bangsa. Banyak episode sejarah mencatat berulang kali, atas dasar kepentingan kelompok tertentu, terjadi peristiwa-peristiwa untuk memecah-belah bangsa kita. Namun, Indonesia masih tetap tegak berdiri. Peristiwa peristiwa tersebut tidak nendjadikan bangsa kita terpecah berdasarkan garis etnis atau paham tertentu seperti yang terjadi di Eropa dan beberapa belahan dunia lain.
Mungkin kita tidak menyadari bahwa perekat kebangsaan kita yang paling kuat itu justru Bahasa Indonesia yang kita tuturkan setiap hari. Bahasa Indonesia tidak hanya memainkan peran sejarah dalam mempersatukan bangsa, tetapi juga menjadi bagian dari pembangunan karakter kita sebagai suatu bangsa. Sayangnya, Bahasa Indonesia ini sering kali dilupakan dalam pembahasan pembahasan tentang identitas dan pembangunan karakter bangsa. Padahal, Bahasa Indonesia memegang peranan penting sebagai pemersatu bagi bangsa Indonesia yang multietnis. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang digunakan semua etnis di samping bahasa ibu mereka masing-masing.
Bahasa sebagai Identitas dan Ideologi
Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu, yang telah digunakan selama lebih dari 700 tahun. Bahasa yang berasal dari rumpun bahasa Austronesia ini telah berkembang dari waktu ke waktu menjadi bahasa nasional Indonesia. Sejarah panjang ini telah memungkinkannya menjadi bahasa umum di antara berbagai kelompok etnis, sehingga memudahkan komunikasi dan memfasilitasi interaksi serta pemahaman di antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Dalam masyarakat multikultural, bahasa membantu menjembatani kesenjangan antara kelompok yang beragam. Hal inilah yang mendorong kohesi sosial dan menciptakan rasa identitas dan persatuan nasional tanpa kita sadari.
Karena bahasa sering menjadi simbol budaya dan ideologi suatu kelompok masyarakat, perbedaan bahasa dapat mencerminkan perbedaan identitas yang lebih dalam di antara mereka. Oleh karena itu, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan terobosan luar biasa yang sangat visioner karena semua deklarator bisa mengesampingkan perbedaan untuk bertekad menjadi satu Indonesia. Salah satunya, menerima Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu, dan bukan bahasa-bahasa daerah lain yang diucapkan oleh lebih banyak orang, sebagai bagian dari fondasi kebangsaan Indonesia.
Sekarang ini, Bahasa Indonesia telah digunakan dan dipahami secara luas di seluruh Indonesia, dengan lebih dari 97% orang Indonesia fasih berbahasa Indonesia. Melalui Bahasa Indonesia inilah, kita dapat mempertahankan warisan budaya yang kaya, termasuk sastra, musik, dan seni. Sudah seharusnya jika Bahasa Indonesia menjadi sumber kebanggaan nasional karena mewakili sejarah, budaya, dan identitas bangsa kita. Dengan Bahasa Indonesia lah, karakter kebangsaan kita dibentuk sebagai pengejawantahan rasa identitas dan nilai-nilai nasional.
Tantangan di Era Globalisasi
Meskipun Bahasa Indonesia telah terbukti berhasil membentuk identitas nasional, tetap timbul keresahan jika kita melihat ada tendensi kemunduran penggunaannya belakangan ini. Apalagi dengan derasnya aliran informasi dari segala penjuru, banyak varian bahasa yang unik, khususnya di platform media sosial yang sangat popular di kalangan generasi muda. Kata-kata seperti mantul, mager, pansos, gercep, gabut, dan lain-lain adalah contoh dari varian unik ini. Sayangnya, varian ini meskipun kreatif kadang- kadang tidak sesuai dengan pakem dari Bahasa Indonesia yang benar.
Hadirnya teknologi dan globalisasi menjadi salah satu faktor utama yang mengikis penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini membuat masyarakat, terutama generasi muda, lebih banyak terpapar oleh dan menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul dalam komunikasi sehari-hari sehingga sering kali menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.
Globalisasi telah memengaruhi dinamika bahasa secara signifikan sehingga sering kali menyebabkan marginalisasi banyak bahasa nasional di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ketika masyarakat menjadi lebih saling terhubung, bahasa yang dominan mengalahkan bahasa nasional, bahasa local ataupun dialek yang sehari-hari diucapkan. Tren ini diperburuk oleh meningkatnya prevalensi bahasa Inggris dalam pendidikan, media, dan bisnis, yang mengurangi kegunaan dan prestise Bahas Indonesia. Hasilnya adalah hierarki linguistik di mana Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dianggap lebih berharga atau berguna daripada bahasa lain, yang mengarah pada pergeseran bertahap dari Bahasa Indonesia di kalangan generasi muda.