TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Perdagangan Internasional Amerika Serikat memblokir penerapan tarif impor menyeluruh yang diberlakukan Presiden Donald Trump. Seperti dilansir Kyodo dan dikutip Antara, mahkamah menemukan bahwa Trump telah melampaui wewenang ketika memberlakukan bea masuk besar-besaran terhadap negara mitra dagang.
Mahkamah yang berbasis di New York itu memutuskan bahwa undang-undang darurat yang ditetapkan oleh Gedung Putih tidak bisa memberikan presiden kewenangan sepihak untuk mengenakan tarif pada hampir setiap negara di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan tersebut pada Rabu waktu setempat mengatakan bahwa Kongres AS memiliki kewenangan eksklusif untuk mengatur perdagangan dengan negara asing berdasarkan Konstitusi AS.
Selain itu, menurut putusan pengadilan, kewenangan tersebut tidak dapat digantikan oleh deklarasi darurat nasional presiden untuk membenarkan kebijakan tarif yang diberlakukan secara menyeluruh.
Seperti dilansir CNBC, pengadilan mengeluarkan putusan permanen atas semua kebijakan tarif menyeluruh yang dikeluarkan oleh Trump sejak menjabat pada Januari. Mahkamah memerintahkan pemerintahan Trump untuk mengeluarkan kebijakan baru yang mencerminkan keputusan tersebut dalam waktu 10 hari.
Tarif AS yang diblokir oleh pengadilan termasuk tarif yang diberlakukan bulan lalu terhadap hampir semua mitra dagang Amerika dan pungutan sebelumnya yang dikenakan kepada Kanada, Cina, dan Meksiko.
Pengadilan yang berpusat di Manhattan tersebut tidak hanya memerintahkan penghentian permanen sebagian besar tarif Trump, tetapi juga melarang modifikasi apa pun di masa mendatang.
Panel yang terdiri atas tiga hakim itu memberi Gedung Putih waktu 10 hari untuk menyelesaikan proses formal penghentian tarif impor. Pemerintahan Trump segera mengajukan banding atas putusan tersebut.
Putusan tersebut didasarkan pada dua kasus terpisah. Liberty Justice Center yang nonpartisan mengajukan satu kasus atas nama beberapa bisnis kecil yang mengimpor barang dari negara-negara yang menjadi sasaran bea masuk. Sementara kasus lain diajukan koalisi pemerintah negara bagian AS untuk menentang tarif impor.
Kedua kasus tersebut menandai tantangan hukum besar pertama terhadap apa yang disebut tarif "Hari Pembebasan" Trump.
Pada April lalu, Trump memberlakukan tarif yang disebutnya "resiprokal" terhadap negara-negara yang memiliki defisit perdagangan dengan AS, serta tarif dasar sebesar 10 persen pada hampir semua negara.
Namun, ia kemudian menangguhkan penerapan tarif resiprokal spesifik negara selama 90 hari.
Pada Februari, Trump juga memberlakukan tarif terhadap Kanada, Meksiko, dan Cina, dengan alasan langkah itu diperlukan untuk menghentikan arus imigran ilegal dan perdagangan narkoba melintasi perbatasan AS.
Gedung Putih mengkritik putusan tersebut, meskipun Trump belum berkomentar secara langsung.
"Bukan tugas hakim yang tidak dipilih untuk memutuskan cara menangani keadaan darurat nasional dengan tepat," kata wakil sekretaris pers Gedung Putih, Kush Desai, dalam sebuah pernyataan.
"Presiden Trump berjanji untuk mengutamakan Amerika, dan pemerintahan berkomitmen untuk menggunakan setiap tuas kekuasaan eksekutif untuk mengatasi krisis ini dan memulihkan kejayaan Amerika," Desai menambahkan.
Namun, Jaksa Agung New York Letitia James, salah satu dari 12 negara bagian yang terlibat dalam gugatan tersebut, menyambut baik keputusan tersebut.
"Hukumnya jelas: tidak ada presiden yang memiliki kekuasaan untuk menaikkan pajak sesuka hati," kata Letitia James.
"Tarif impor ini merupakan kenaikan pajak besar-besaran bagi keluarga pekerja dan bisnis Amerika yang akan menyebabkan lebih banyak inflasi, kerusakan ekonomi bagi bisnis dari semua ukuran, dan hilangnya pekerjaan di seluruh negeri jika dibiarkan terus berlanjut," James menegaskan.
Setelah putusan pengadilan tersebut, pasar global, termasuk saham Tokyo, menguat karena keputusan tersebut meredakan kekhawatiran atas dampak tarif AS terhadap perekonomian dunia.