TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) angkat bicara ihwal dokumen United States Trade Representative (USTR) yang menyoroti Pasar Mangga Dua di Jakarta. Dalam dokumen itu disebutkan kalau Pasar Mangga Dua terdaftar sebagai lokasi yang marak dengan kasus pembajakan atau pelanggaran hak cipta sebuah produk.
“Pemerintah tetap berkomitmen menerapkan kebijakan hak cipta dan terus menindak untuk penegakan hukum (terhadap pelanggar) tetap dilakukan,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko BRIS Witjaksono, kepada awak media di Jakarta, Senin, 21 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau USTR secara terang-terangan memuat Pasar Mangga Dua dalam rilis mereka, Djatmiko menganggap hal ini sudah lumrah. Ia menyebutkan USTR tiap tahun selalu memaparkan hasil kajiannya terhadap situasi dan kondisi pasar yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual.
“Ini memang satu hal yang rutin dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan juga USTR untuk memantau kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Jadi kita tidak luput dari itu,” ucap Djatmiko.
Djatmiko mengakui sengkarut pelanggaran hak cipta pada produk yang masih banyak terjadi di Tanah Air. Dia mengaku sudah menjelaskan fenomena ini ke pelbagai forum internasional ataupun saat membahasnya secara bilateral. Langkah tersebut dianggapnya sebagai upaya pemerintah dalam memblokir peredaran produk yang tidak lulus uji kelayakan hak cipta.
Selain membahas Pasar Mangga Dua, USTR juga membeberkan perdagangan Amerika dengan Indonesia mengalami defisit hingga US$ 17,9 miliar pada 2024. Angka ini naik 5,4 persen atau US$ 923 juta dari tahun 2023. Indonesia pun dikenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen.
Dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025, USTR mencatat sejumlah hambatan tarif maupun nontarif yang dihadapi negara tersebut dengan para mitra dagang, termasuk Indonesia.
USTR mengklaim bahwa Indonesia telah meningkatkan tarif impor selama 10 tahun terakhir terutama untuk komoditas yang bersaing dengan industri dalam negeri. Beberapa contohnya adalah barang elektronik, produk kecantikan, obat-obatan, minuman beralkohol, serta produk pangan.
Kemudian, dokumen tersebut juga mencatat Indonesia memberlakukan tarif di atas 25 persen untuk 99 persen produk pangan. Sedangkan, rata-rata tarif Most-Favored Nation (MFN) Indonesia adalah 8 persen. Tertulis juga Amerika Serikat keberatan dengan tarif yang diberlakukan Indonesia untuk komoditas teknologi informasi dan komunikasi.