Aliansi Jogja Memanggil Tegaskan Sikap Bersama terkait Penangkapan Aktivis dan Warga

1 hour ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Konferensi pers Aliansi Jogja Memanggil pada Selasa (30/9/2025) menjadi ruang pengawal tegaknya demokrasi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Forum Cik Di Tiro, Bara Adil, hingga masyarakat sipil hadir untuk menegaskan sikap bersama terhadap maraknya penangkapan aktivis dan warga sejak akhir Agustus. Mereka menilai praktik itu tidak hanya cacat prosedur, tapi juga ancaman serius bagi demokrasi.

Perwakilan Forum Cik Di Tiro, Elanto, mengatakan banyak penangkapan yang berlangsung, seperti penculikan. Aparat dinilai menyalahi prosedur hukum yang seharusnya dijalankan. “Tidak ada pemanggilan pemeriksaan, tiba-tiba sudah ditetapkan tersangka. Bukti pun belum cukup, tapi aparat memilih jalan pintas dengan penangkapan paksa,” ujarnya.

Ia menambahkan, narasi anarkisme yang dibangun polisi justru menyembunyikan fakta. Publik tidak pernah tahu siapa pemicu kerusuhan pada akhir Agustus, tapi warga sipil sudah terlanjur dituduh dan ditahan.

“Alih-alih transparan, aparat menutup-nutupi. Publik hanya dapat kabar dari media atau masyarakat sipil, sementara data resmi tidak pernah dibuka," katanya.

Selain itu, terdapat masalah lain yang tak kalah penting, yaitu kematian mahasiswa Amikom, Reza, yang masih menggantung tanpa kejelasan. Penangkapan terhadap Arie, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan aktivis Jogja Fahrur Rozi alias Paul juga memperkuat kritik bahwa aparat bertindak sewenang-wenang, bahkan melibatkan Polda Jatim tanpa koordinasi jelas dengan Polda DIY.

“Situasi di Jogja kondusif, tapi aparat tetap mencari cara menyebar rasa takut. Ini sinyal berbahaya bagi kebebasan," kata Elanto.

Lebih lanjut, Aliansi juga menyoroti situasi medis korban aksi. Mereka mengaku kesulitan mendapat data resmi dari RS Sardjito meski sudah dua kali mengirim surat.

“Sampai sekarang belum ada respons resmi dari rumah sakit. Informasi yang kami punya hanya dari pasien dan teman-teman aksi. Ada sekitar 20 korban, kami sempat temui 10 orang, dan sekarang mendampingi tujuh orang di Sardjito,” jelas perwakilan aliansi.

Aliansi juga menyampaikan, sembilan poin tuntutan sebagai sikap resmi, di antaranya:

1. Mendesak polisi untuk berhenti memburu aktivis dan warga sipil yang terlibat dalam aksi unjuk rasa pada Agustus sampai September 2025.

2. Mendesak institusi kepolisian untuk membebaskan seluruh aktivis dan warga sipil yang ditahan dengan alasan yang terlibat dalam aksi unjuk rasa pada Agustus sampai September 2025.

3. Mendesak Kompolnas, Komnas HAM, dan Kementrian untuk aktif mendampingi dan mengupayakan pembebasan kepada para tersangka yang saat ini ditahan.

4. Mendorong output smart Republik Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap dugaan maladministrasi dan penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat di sejumlah daerah.

5. Polda DIY harus transparan dan membuka akses bantuan hukum kepada para tersangka yang saat ini masih ditahan.

6. Polda DIY harus melepaskan aktivis dan masyarakat sipil yang ditahan karena unjuk rasa adalah hak, bukan karena melakukan tindak kriminal.

7. 5 Kapolri Jenderal diminta untuk harus mundur, karena telah gagal memimpin institusi kepolisian.

8. Melakukan reformasi polri secara menyeluruh, dengan mendengar dan melibatkan masyarakat sipil.

9. Meminta pihak RSUP Dokter Sardjito untuk memberikan data yang transparan berkaitan jumlah korban yang ditangani hingga memberikan rekam medis kepada korban sebagaimana haknya.

Melki, mewakili masyarakat sipil, menambahkan bahwa praktik penangkapan di luar prosedur adalah bentuk kesewenang-wenangan. “Banyak orang ditahan tanpa surat resmi, tanpa pemanggilan. Ini jelas cacat administratif dan alarm bagi demokrasi,” ucapnya.

Ia juga menegaskan, kebebasan berekspresi kini semakin terbatas. “Ketika bersuara saja tidak lagi mendapat perlindungan, lalu apa arti demokrasi bagi kepolisian? Ada yang meninggal ditutupi, ada penangkapan ditutupi, ada pemeriksaan paksa ditutupi. Semuanya dibiarkan seolah normal,” kata Melki.

Aliansi Jogja Memanggil menilai perjuangan tidak berhenti pada pembebasan tahanan, tetapi juga mencakup upaya menjaga ruang demokrasi, memastikan hak korban atas keadilan dan pemulihan medis, serta berkomitmen mengawal kasus ini hingga selesai.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |