Wawancara Omar Daniel: Horor Berpotensi Jadi Kekuatan Global Perfilman Tanah Air

5 hours ago 3

AKTOR Omar Daniel bercerita tentang keterlibatannya dalam Waktu Maghrib 2, film horor terbaru garapan Sidharta Tata. Film ini merupakan sekuel dari Waktu Maghrib (2023) yang mencatat lebih dari 2,4 juta penonton di bioskop. Kali ini, Omar memerankan Adi versi dewasa, karakter yang sebelumnya diperankan oleh Ali Fikry.

Kepada Tempo di kawasan Palmerah Barat, Jakarta Barat, Senin, 5 Mei 2025 Omar berkata bahwa keterlibatannya dalam proyek ini seperti semacam ‘pulang’ ke genre yang sudah cukup lama ia tinggalkan. Setelah dua tahun fokus pada drama, ia merasa terpanggil kembali menyelami dunia mistik dan supranatural khas horor Indonesia. Bukan sekadar proyek kerja, tapi juga bentuk kecintaannya terhadap genre yang ia yakini sebagai kekuatan utama perfilman nasional.

Waktu Maghrib 2 diproduksi oleh Rapi Films dan dijadwalkan tayang serentak di bioskop pada 28 Mei 2025. Film ini melibatkan Sidharta Tata sebagai sutradara sekaligus salah satu penulis naskah bersama Khalid Khasogi dan Bayu Kurnia. Mengusung latar desa Jawa yang kental dengan nuansa lokal dan kepercayaan leluhur, film ini mengisahkan teror supranatural yang kembali muncul dua dekade setelah peristiwa di desa Jatijajar.

Dalam sekuel ini, cerita berpusat pada Yogo, Dewo, dan Wulan—tiga remaja yang terlibat keributan dalam pertandingan sepak bola antar anak desa. Kekalahan dalam pertandingan itu membuat mereka menyumpahi lawannya saat kembali ke desa menjelang waktu maghrib.

Tanpa sadar, mereka membangkitkan kembali teror Jin Ummu Sibyan, sosok gaib yang kini menghantui desa Giritirto. Teror yang dibawa Ummu Sibyan kali ini lebih mencekam. Selain Omar Daniel, film ini juga dibintangi oleh Anantya Kirana, Sulthan Hamonangan, Ghazi Alhabsyi, Muzakki Ramdhan, Sadana Agung, Nopek Novian, Bagas Pratama Saputra, dan Fita Anggriani.

Omar mengaku diberi ruang luas oleh sang sutradara untuk mengeksplorasi karakter Adi. Ia mendalami peran ini melalui diskusi intensif dengan penulis dan sutradara, tanpa riset berlebihan, sebab latar belakang karakter cukup dekat dengan realitas sosial Yogyakarta. Pengalaman syutingnya pun jauh dari kesan kelam dan melelahkan yang sering dilekatkan pada produksi film horor. Menurut Omar, proses kali ini berlangsung dalam kondisi yang sehat dan profesional—sebuah standar baru yang patut dirayakan.

Aktor kelahiran 1995 itu juga berbagi pandangannya tentang posisi film horor Indonesia. Ia menyoroti pandangan miring sebagian masyarakat terhadap genre ini, yang sering dianggap sepele. Padahal, ia menilai, horor Indonesia memiliki modal budaya yang kuat, terutama mitos dan kepercayaan lokal seperti klenik yang tidak dimiliki negara lain. Menurutnya, Indonesia bisa menonjol di level global lewat horor, asalkan digarap serius, kreatif, dan tidak sekadar mengejar jumlah produksi.

Bagi Omar, Waktu Maghrib 2 adalah contoh bagaimana film horor bisa tetap mencekam tanpa kehilangan bobot cerita. Sebuah perpaduan antara mitos lokal, atmosfer yang mencekam, dan pesan-pesan moral yang tersirat. Omar berharap film ini bisa menggeser persepsi publik dan membuka jalan baru bagi horor sebagai kekuatan utama perfilman Indonesia.

Beberapa kali terlibat di genre horor, apa yang membuat Anda kembali memilih proyek horor, khususnya setelah cukup lama vakum dari genre ini?

Kangen sebenarnya. Jadi, meninggalkan horor tuh sebenernya sudah cukup lama. Kurang lebih sekitar 2 tahun. Kurang lebih 2 tahun meninggalkan horor dan fokus pada drama dan lain-lain. Terus tiba-tiba kangen juga ya. Pulang malem, pulang pagi, syuting dengan properti dan juga berbagai pernak-pernik horornya. Memang, untuk Waktu Maghrib, saya tahu betul film yang pertama mendapatkan banyak atensi. Ingin sekali bisa bergabung di Waktu Maghrib kedua.

Di sekuel ini, Anda memerankan Adi dalam versi dewasa. Dulu diperankan Ali Fikry. Sejauh apa ruang eksplorasi dan riset yang Anda lakukan dalam membentuk karakter ini?

Ini menantang dan cukup tertekan juga pasti ya. Karena pastinya penggemar Waktu Maghrib yang pertama, mereka berekspektasi Adi sesuai dengan Adi kecil yang sebelumnya. Tapi, saya memang dibebaskan sekali sama Mas Tata (sutradara) untuk bisa eksplorasi karakter Adi. Dia tidak memberikan batasan ruang dan kemampuan akting. Karena memang jeda waktunya cukup lama, 20 tahun kemudian dari Adi kecil ke Adi dewasa.

Jadi, selama 20 tahun itu sudah banyak yang Adi kecil lalui. Jadi ada alasan yang cukup kuat di situ untuk Adi memiliki karakter yang berbeda dengan Adi kecil. Tidak ada tekanan untuk harus sama seperti Adi yang dulu. Lebih ke beban emosional dan juga trauma yang masih dibawa dari kecil ke dewasa. Itu saja sih yang perlu dipertahankan.

Untuk riset sendiri lebih ke survei dari film dan banyak ngobrol sama sutradara dan penulis juga, sesuai dengan yang mereka inginkan. Semua itu tidak terlalu banyak menghabiskan waktu untuk diriset, karena kurang lebih Adi itu hanya masyarakat Yogyakarta biasa, anak-anak daerah yang memang dia pekerja keras dan dia berusaha untuk melupakan masa lalunya yang kelam.

Syuting horor sering dianggap melelahkan dan tidak manusiawi. Apa benar selalu begitu? Bagaimana pengalaman dan persiapan fisik Anda di Waktu Maghrib 2?

Tetap perlu ada persiapan fisik pastinya. Karena mau bagaimana pun, syuting horor itu pasti harus siap-siap untuk pulang pagi. Walaupun di sini yang perlu saya soroti, ini saya apresiasi juga ke Mas Tata. Karena ini film horor yang saya bisa bilang syuting dan produksinya sehat banget.

Mas Tata, terima kasih banyak karena Amda bisa membuktikan bahwa syuting film horor bisa dilakukan dengan kondisi sehat, dengan jam kerja yang sehat dan manusiawi. Di lapangan syukur enggak ada masalah.

Dibandingkan dengan film yang pertama, menurut Anda, apa perbedaan menarik di versi sekuelnya?

Tensi lebih tinggi pastinya. Di sini penonton bener-bener dibikin enggak bisa nafas. Penonton seperti berasa ikut dikejar-kejar, dan ini menurut aku film horor yang semi realis. Tapi juga membawa kita ke fantasi seakan-akan ada zombinya. Di film ini disuguhkan hantu dan mitos, tapi ada komedinya juga. Lalu ada dramanya, ada romansanya sedikit, ada aksinya juga. Jadi lumayan fluktuatif.

Ada tekanan dengan pencapaian Waktu Maghrib pertama yang berhasil meraup lebih dari 2,4 juta penonton?

Kami sudah berusaha memberikan yang terbaik. Sebenernya enggak bisa dibandingkan. Karena ceritanya juga sangat berbeda. Walaupun premisnya sama. Tapi pasti penonton akan membandingkan. Jadi, kami siap saja menghadapinya.

Bagaimana pandangan Anda soal posisi film horor Indonesia saat ini? Apa yang menurut Anda masih perlu dibenahi—baik dari sisi produksi maupun penerimaan pasar?

Kalau saya sering sekali saat hadir di acara ditanya seperti, "Omar lagi syuting apa? Sekarang lagi mau promo atau mau tayang apa?" saya jawab, "Horor." Lalu mereka merespon, "Yah biasa, Indonesia deh." Semua bilang seperti itu. Mereka, terutama masyarakat menengah—sangat menggampangkan dan memandang sebelah mata film horor.

Kalau menurut saya pribadi, film horor di Indonesia itu adalah kekuatan yang kita punya sebenarnya. Bisa kita manfaatkan semaksimal mungkin. Contoh, kalau Korea Selatan itu mempunyai K-Drama yang jadi kekuatan mereka. Thailand juga terkenal dengan film horor dan sekarang drama komedi. Sebenernya Indonesia punya kekuatan film horor dengan segala pasarnya, dengan segala klenik yang kita punya.

Kita bisa menonjol di mata dunia, bahkan di mata Hollywood dengan kemampuan horor kita yang maksimal. Sayangnya, ada beberapa film yang memang mereka tidak mengejar kualitas tapi mengejar kuantitas. Jadi hasilnya jadi kurang maksimal dan justru membuat nama atau konteks horor semakin buruk. Saya berharap dengan adanya Waktu Maghrib ini bisa memberikan gambaran.

Bukan hanya hantu yang menakut-nakuti, bukan hanya mitos, tapi ada poin positif yang bisa kita petik. Juga penggunaan dialog, penggunaan aktor, alur cerita, dan set yang memang maksimal. Ada bobot cerita penting yang memang bisa disampaikan dan jadi poin besar di film.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |