DPR sedang menyiapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara atau RUU ASN. Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menegaskan pihaknya berfokus pada revisi UU ASN sesuai dengan Prolegnas 2025.
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN sebelumnya telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2023. Zulfikar menuturkan proses revisi UU ASN sebenarnya sedang digodok oleh Badan Legislasi atau Baleg DPR RI. Namun, kata dia, Komisi II sedang berupaya agar pembahasan itu dikembalikan ke ranah Komisi II sebagai mitra langsung penyelenggara pemilu.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan RUU ASN yang akan bergulir di komisinya saat ini masih dalam tahap penyempurnaan naskah akademik oleh Badan Keahlian DPR RI. Dia menyebutkan penyempurnaan naskah akademik RUU ASN itu dilakukan dengan mengundang para akademisi dan pakar.
“Draf (naskah akademik RUU) itu masih di Badan Keahlian. Masih disempurnakan oleh Badan Keahlian dengan mengundang pakar, akademisi, profesional,” kata dia di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 17 April 2025, seperti dikutip dari Antara.
Zulfikar menyebutkan Badan Keahlian DPR telah melakukan dengar pendapat dengan para akademisi hingga praktisi untuk mendalami kembali mengenai revisi UU ASN.
Usulan Perubahan dalam Revisi UU ASN
Usulan perubahan dalam revisi UU ASN hanya menyangkut satu pasal, yakni Pasal 30, yang mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah mengenai pengelolaan ASN.
Pasal 30 ayat (1) undang-undang itu menyebutkan, “Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota.”
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan RUU ASN akan memindahkan kewenangan pengangkatan, pemberhentian, termasuk mutasi bagi eselon II ke atas, ke pemerintah pusat. Dia mengatakan revisi UU ASN itu akan mengatasi masalah ASN yang tidak netral pada pemilihan kepala daerah atau pilkada. “Dari pelaksanaan pileg, pilpres, dan pilkada dalam konteks ASN, kita menemukan banyak sekali ketidaknetralan ASN, terutama pada pilkada,” kata dia di kompleks parlemen, Senin, 21 April 2025.
Politikus Partai NasDem itu menuturkan ketidaknetralan ASN sering dilakukan terutama oleh pejabat seperti sekretaris daerah atau kepala daerah. Dia mengatakan pejabat-pejabat tersebut sudah dituntut untuk netral pada momen pilkada. Namun, di sisi lain, pejabat-pejabat itu harus menunjukkan loyalitasnya kepada para kepala daerah.
Adapun Wakil Ketua Komisi II DPR Bahtra Banong sebelumnya mengatakan poin penting dari revisi UU ASN yang akan segera dibahas di parlemen adalah agar sistem merit diterapkan dalam jenjang karier ASN dari level daerah ke pusat.
Sebab, kata dia, pengembangan karier ASN di daerah yang memiliki kompetensi bagus selama ini hanya berkutat di level daerah. “Sehingga promosi-promosi jabatan itu tidak terjadi pada mereka. Nah, kami ingin mereka punya kompetensi yang bagus, kualitas bagus, bisa berkarier sampai ke tingkat pusat,” ujarnya di kompleks parlemen pada Kamis, 17 April 2025.
Dia berharap, melalui revisi UU ASN, nantinya para ASN di daerah yang memiliki kinerja bagus dapat mengembangkan kariernya hingga ke tingkat pusat. “Begitu tujuan utamanya,” ucapnya.
Kewenangan Presiden jika Revisi UU ASN Disahkan
Revisi Pasal 30 UU ASN akan memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengangkat, memindahkan, hingga memberhentikan pejabat tinggi dari tingkat pusat hingga daerah. Zulfikar Arse Sadikin memberikan beberapa catatan terhadap revisi UU ASN itu, salah satunya soal desentralisasi yang sudah sejak lama menjadi semangat Indonesia.
“Memang kalau secara administrasi pemerintahan, semua itu, terutama urusan pemerintahan umum, presiden sebagai kepala pemerintahan, wewenang itu pada mulanya pada dasarnya ada di presiden,” ujarnya di kompleks parlemen, Kamis lalu.
Namun karena Indonesia menerapkan desentralisasi pemerintahan, kata dia, kewenangan itu didelegasikan ke kepala daerah. Dia mengatakan rencana penambahan kewenangan presiden tersebut tidak sesuai dengan desentralisasi atau otonomi daerah.
Apabila revisi UU ASN disahkan, presiden akan memiliki kendali langsung terhadap dua kategori jabatan berikut, yaitu:
1. Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (saat ini sudah jadi kewenangan presiden) yang meliputi:
- Direktur jenderal (dirjen) di kementerian, sekretaris daerah provinsi
- Inspektur jenderal (irjen)
- Deputi di lembaga non-kementerian (seperti di BKN, KemenPANRB)
- Staf ahli menteri.
2. Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (revisi UU ASN)
- Kepala dinas di provinsi maupun kabupaten/kota
- Sekretaris daerah kabupaten/kota
- Kepala biro di kementerian
- Direktur di bawah dirjen.
Meski demikian, tidak semua jabatan ASN bisa diintervensi langsung oleh presiden. Beberapa jabatan tetap menjadi tanggung jawab menteri atau kepala daerah, seperti jabatan administrator yang meliputi kepala bagian, camat, dan kepala bidang. Lalu, jabatan pengawas, seperti kepala subbagian, lurah, pengawas teknis; serta jabatan fungsional seperti guru, dokter, auditor, penyuluh, peneliti, dan arsiparis.
Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Respons Jokowi dan Mensesneg soal Isu Matahari Kembar