Menata Ulang Arah Hidup di Ujung Tahun: Belajar dari Petuah Imam asy-Syafi‘ī

2 hours ago 1

Oleh : Ahmad Jamil, Ph.D, Pimpinan Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir tahun kerap diperlakukan sebagai termin administrasi kehidupan: target ditutup, capaian dirangkum, dan rencana disusun ulang. Namun hidup tidak sepenuhnya tunduk pada logika administratif. Ia bergerak di wilayah yang lebih subtil yaitu wilayah makna, niat, dan orientasi batin. Karena itu, muḥasabah akhir tahun seharusnya tidak berhenti pada evaluasi kinerja, tetapi berlanjut pada evaluasi arah.

Dalam tradisi intelektual Islam, evaluasi arah ini tidak dipisahkan dari dimensi spiritual. Para ulama klasik memadukan nalar, etika, dan kesadaran eksistensial. Di antara ekspresi paling jernih dari sintesis ini adalah syair-syair dalam Diwan Imam asy-Syafi’i. Ia bukan sekadar karya sastra, melainkan refleksi normatif seorang faqih tentang kehidupan yang dijalani dalam ketundukan kepada Allah.

Syair tentang takwa, rezeki, dan umur yang kerap dikutip itu menyajikan kerangka muḥāsabah yang utuh: fondasi nilai (takwa), dinamika ikhtiar (rezeki), dan batas ontologis manusia (umur). Tiga hal ini, bila dibaca secara integral, membentuk etos hidup beriman yang relevan lintas zaman.

Takwa: Kerangka Etis saat Kesadaran Menurun

عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ غَافِلًا # يَأْتِيكَ بِالْأَرْزَاقِ مِنْ حَيْثُ لَا تَدْرِي

“Peganglah takwa kepada Allah, meskipun engkau sedang lalai (sebab takwa tetap setia menuntun jiwa # niscaya rezeki akan datang kepadamu dari arah yang tak pernah kau rancang dan duga.”

Imam asy-Syafi’i membuka muḥasabahnya dengan satu asumsi antropologis yang jujur dan realistis bahwa manusia tidak selalu berada pada puncak kesadaran, yakni berada dalam spektrum kesadaran yang fluktuatif. Kelalaian (ghaflah) adalah bagian dari pengalaman manusiawi. Karena itu, takwa tidak diposisikan sebagai kondisi ideal yang statis, melainkan sebagai kerangka etis yang dinamis, yang bekerja justru ketika kesadaran menurun, ia menuntun proses Kembali kepada Allah.

“Peganglah takwa kepada Allah, meski engkau sedang lalai,” tulis beliau, seakan menegaskan bahwa takwa bukan hadiah bagi yang sempurna, melainkan kompas bagi yang ingin kembali.

Al-Qur’an menguatkan pesan ini dengan tegas dan menenangkan: “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaq [65]: 2–3).

Para mufassir klasik seperti Ath-Ṭabari dan Ibn Katsir menjelaskan bahwa “makhraj” dalam ayat ini tidak hanya berarti solusi lahiriah, tetapi juga keluasan batin, yaitu kelapangan hati dalam menghadapi hidup. Takwa, dengan demikian, bukan sekadar sikap takut, melainkan mekanisme regulatif yang membimbing pilihan, mengoreksi kecenderungan, dan menata orientasi.

Nabi Muhammad ﷺ menegaskan prinsip ini secara praktis: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada”(haistuma kunta), sebuah isyarat bahwa takwa berlaku dalam semua keadaan, bukan hanya saat iman sedang tinggi.

Dalam perspektif ulama, takwa berfungsi sebagai prinsip regulative, ia membimbing pilihan, mengoreksi kecenderungan, dan menata orientasi. Takwa tidak menunggu kita sempurna; ia bekerja justru saat kesadaran menurun.

Karena itu, muḥasabah yang bertolak dari takwa menyelamatkan kita dari dua ekstrem, yaitu menyalahkan diri secara destruktif atau membenarkan kelalaian secara permisif.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |