TEMPO.CO, Jakarta - UU Kementerian Negara digugat oleh sekelompok mahasiswa terkait dengan rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik. Permohonan uji materi itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Maret 2025. Adapun perkara diregistrasi pada Selasa,18 Maret 2025, dengan Nomor Perkara Nomor 35/PUU-XXIII/2025. Gugatan itu disidangkan perdana di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 28 April 2025.
Pasal yang digugat oleh sekelompok mahasiswa tersebut ialah Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Mereka menilai ketentuan itu membuka celah bagi praktik rangkap jabatan menteri sebagai pengurus partai politik, yang berdampak pada turunnya kualitas pelayanan publik dan melemahnya prinsip demokrasi.
Siapa Penggugat dan Bagaimana Isi Gugatannya?
Permohonan ini diajukan oleh tiga mahasiswa FHUI dan satu mahasiswa dari Fakultas Ilmu Administrasi UI (FIA) ke MK. Mereka adalah Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, Keanu Leandro Pandya Rasyah, dan Vito Jordan Ompusunggu dari FIA UI. Tim kuasa hukum mereka adalah Abu Rizal Biladina, Hafsha Hafizha Rahma, dan Jhonas Nikson. Rizal dan Hafsha merupakan mahasiswa aktif FHUI. Sedangkan Jhonas baru lulus dari FHUI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu anggota penggugat, Rizal, mengatakan gugatan terhadap Pasal 23 huruf c beleid tersebut dilakukan karena dianggap melanggar hak konstitusional pemohon dengan banyaknya menteri yang merangkap pengurus partai politik.
Pemohon melihat kondisi status quo yang sekarang sudah tidak ada checks and balances. Sehingga perlu diperbaiki dari struktur hukum tata negara dimulai dari menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai pengurus parpol.
Argumen tersebut didapat karena berkaca dari pola yang terjadi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini. Di masa Kabinet Indonesia Bersatu II, enam pengurus parpol menjabat menteri, termasuk Muhaimin Iskandar dari PKB. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), jumlah itu meningkat menjadi sembilan, termasuk Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Presiden Prabowo Subianto pun melanjutkan tren ini dengan mengangkat Zulkifli Hasan (PAN) dan Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat) sebagai menteri.
Mereka menilai kecenderungan presiden merangkul partai politik melalui jatah kursi menteri memperkuat koalisi pemerintah dan menyingkirkan fungsi oposisi. “Parpol yang sebelumnya tidak mendukung, saat bergabung ke koalisi selalu mendapat jatah menteri,” tulis para pemohon dalam berkasnya.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup pula fungsionaris partai politik.
Rizal mengatakan pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, ada tumpang tindih dengan norma Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 208 tentang Partai Politik. Pasal ini menyebutkan bahwa keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari APBN atau APBD.
Selain itu, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik juga menegaskan bahwa bantuan keuangan kepada partai politik dari APBN atau APBD diberikan oleh pemerintah pusat atau daerah setiap tahunnya.
“Meskipun Pasal 23 huruf c Undang-Undang Kementerian Negara menggunakan kata dibiayai dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik menggunakan frasa bantuan keuangan. Kedua istilah tersebut secara substansial pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama,” bunyi posita dalam berkas gugatan pemohon yang dilihat Tempo.
Eka Yudha Saputra dan Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.