KPK Siapkan Program Khusus untuk Guru dan Dosen Guna Minimalkan Korupsi di Dunia Pendidikan

13 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyiapkan program khusus yang ditujukan kepada guru dan dosen untuk meminimalisasi tindakan korupsi di dunia pendidikan. Hal tersebut menanggapi Indeks Integritas Pendidikan 2024 yang hanya sebesar 69,50 lewat Survei Penilaian Integritas atau SPI Pendidikan 2024.

Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana mengatakan program tersebut seperti mengadakan webinar untuk guru dan dosen dalam hal peningkatan kapasitas. Adapun materi yang disampaikan berupa nilai-nilai antikorupsi yang dilakukan selama 3 bulan sekali. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jadi guru-guru hampir tiap 3 bulan sekali itu kita melakukan webinar untuk peningkatan kapasitas. Baik guru yang mengajar anti-korupsi tadi atau guru yang berkeinginan untuk mengajar anti-korupsi," kata dia saat memperingati Hari Pendidikan di Gedung Pusat Antikorupsi, Jakarta Selatan, pada Jumat, 2 Mei 2025.

Pematerinya, kata Wawan berasal dari pimpinan KPK. Selain itu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi akan menjadi keynote speech. Ia menilai, langkah ini merupakan upaya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, termasuk dalam memperbaiki ekosistem pendidikannya. "Nah, itu adalah upaya kami semua bagaimana mewujudkan pendidikan yang berintegritas. Termasuk ekosistemnya. Ada gurunya, kepala sekolahnya, pengawasnya, dan lain-lain berintegritas juga," katanya.

Hasil dari SPI Pendidikan menunjukkan 98 persen praktik ketidakjujuran akademik berupa menyontek masih terjadi di perguruan tinggi. Di tingkat sekolah, KPK mencatat bahwa perilaku menyontek masih ditemukan di sekitar 78 persen sekolah.

Tercatat juga 43 persen siswa dan 58 persen mahasiswa masih melakukan tindakan menyontek. Dalam hal plagiarisme, hasil survei menunjukkan bahwa praktik ini terjadi di sekitar 43 persen perguruan tinggi dan 6 persen sekolah di Indonesia.

Lain hal dengan ketidakdisiplinan akademik, Wawan mengatakan bahwa 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa yang menjadi responden mengaku pernah datang terlambat ke sekolah atau kampus. Tak hanya siswa dan mahasiswa, ketidakdisiplinan juga terjadi di kalangan tenaga pengajar. Menurut 69 persen siswa, masih ada guru yang sering datang terlambat, sementara 96 persen mahasiswa menyatakan bahwa dosen mereka juga kerap tidak hadir tepat waktu. "Bahkan di 96 persen dan 64 persen sekolah ditemukan masih ada dosen atau guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas," kata dia.

Kemudian, ada 22 persen sekolah masih ditemukan kasus guru yang menerima bingkisan dari orang tua murid untuk menaikkan nilai siswa. "Bahkan, menurut orang tua di 22 persen sekolah, masih ada guru yang menerima bingkisan agar nilai siswa menjadi bagus atau agar siswa bisa lulus," kata Wawan.

Ada juga 30 persen guru atau dosen, serta 18 persen kepala sekolah atau rektor, masih menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid sebagai hal yang wajar diterima. Wawan juga menyebutkan bahwa di 60 persen sekolah, orang tua terbiasa memberikan bingkisan atau hadiah kepada guru saat hari raya atau kenaikan kelas.

Tak hanya itu, 68 persen pimpinan perguruan tinggi menentukan vendor berdasarkan relasi pribadi untuk pengadaan barang dan jasa di instansinya. Untuk lingkup sekolah ditemukan setidaknya 43 persen pada kasus yang sama.

Selain itu, Wawan menyampaikan di 26 persen sekolah dan 68 persen kampus ditemukan adanya pihak di satuan pendidikan yang menerima komisi dari vendor. Survei juga mengungkap adanya proses pengadaan atau pembelian yang dilakukan secara kurang transparan di 75 persen sekolah dan 87 persen kampus.

Ada juga 12 persen sekolah yang menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak sesuai peruntukannya atau melanggar aturan. Wawan juga mengungkapkan bahwa 17 persen sekolah masih ditemukan praktik pemerasan, potongan, atau pungutan terkait dana BOS. Selain itu, 40 persen sekolah terindikasi melakukan nepotisme dalam proses pengadaan barang dan jasa atau proyek. "Sebanyak 47 persen sekolah masih melakukan penggelembungan biaya penggunaan dana lainnya, dan pelanggaran lainnya masih terjadi pada 42 persen sekolah," ujar Wawan.

Selain itu, masih ditemukan praktik pungutan di luar biaya resmi pada proses penerimaan siswa baru di sekitar 28 persen sekolah. Pungutan serupa juga terjadi dalam proses sertifikasi atau pengajuan dokumen lainnya, yang tercatat di 23 persen sekolah dan 60 persen perguruan tinggi.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |