Kilas Balik 'Petrus': Cara Orde Baru Berantas Premanisme

4 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Maraknya kasus premanisme yang terjadi di Tanah Air membuat pemerintah akhirnya turun tangan. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan, Presiden Prabowo Subianto merasaa resah dan sudah berkoordinasi dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo serta Jaksa Agung ST. Burhanuddin untuk menyelesaikan masalah ini.

“Jadi pak presiden, pemerintah, betul-betul resah. Presiden sudah koordinasi dengan Kapolri dan Jaksa Agung. Koordinasi untuk mencari jalan keluar,” kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat, 9 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menindaklanjuti perintah presiden, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kemudian menerbitkan Surat Telegram dengan nomor STR/1081/IV/OPS.1.3./2025 yang ditujukan kepada jajaran Polda dan Polres. Surat itu berisi instruksi operasi pemberantasan premanisme dengan langkah intelijen, preemtif, dan preventif yang digelar mulai Mei ini.

“Yang jelas, Polri menindak tegas setiap aksi premanisme. Beberapa kasus yang menonjol yang kemudian sempat viral, semuanya kami tangkap (pelakunya),” katanya di Jakarta, Jumat lalu.

Penindakan difokuskan pada berbagai bentuk kejahatan, seperti pemerasan, pungutan liar, pengancaman, perusakan fasilitas umum, pengeroyokan, penganiayaan, penghasutan, pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, hingga penculikan.

Polri juga mengambil sejumlah langkah strategis, antara lain menyelidiki dan penegakan hukum terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) yang terbukti melakukan tindak pidana, menggelar razia terhadap praktik pungli dan premanisme, dan mengecek legalitas ormas yang terlibat.

“Hingga memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait pembekuan atau pembatalan izin terhadap ormas yang terbukti melakukan tindak pidana,” kata Kapolri.

Upaya pemberantasan premanisme secara nasional juga pernah dilakukan di era Orde Baru pemerintahan Presiden Kedua RI Soeharto. Tapi kala itu caranya sadis. Bukan ditangkap dan diadili secara hukum, orang-orang yang diduga preman dieksekusi secara misterius. Mereka tewas dengan luka tembakan dan mayatnya ditinggalkan di tempat umum. Untuk efek jera.

Operasi ini terjadi dalam kurun 1980-an bernama Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Tapi sejarah mencatatnya dengan sebutan Penembak Misterius alias Petrus. Disebut demikian karena para pelaku beroperasi secara rahasia. Kala itu orang-orang ditemukan tewas di pinggir jalan, di tengah jalan atau di bawah jembatan. Tetapi ada pula koban yang disembunyikan mayatnya.

Para korban Petrus biasanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yakni memiliki tiga luka tembak di tubuh, beberapa korban terdapat luka cekik, dan biasanya pelaku meninggalkan uang Rp10.000 untuk biaya penguburan kala itu. Korban-korban umumnya diketahui sebagai preman atau anggota Gabungan Anak Liar, disingkat Gali. Beberapa hanya karena mereka memiliki tato, walau kemungkinan besar bukan preman.

Dalang di balik operasi juga samar-samar. Tetapi kuat dugaan adanya campur tangan rezim. Dugaan itu diungkapkan oleh David Bourchier dalam Crime, Law, and State Authority in Indonesia. Ia mengungkapkan, pelaku Petrus bertindak dalam konteks melaksanakan perintah. Mereka dikoordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), yang berada di bawah komando kepala negara.

Para pelaku juga tampaknya profesional. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti yang ada di lapangan. Misalnya, pada tali tambang dan kayu yang digunakan untuk mencekik korban. Alat untuk eksekusi tampak sudah dipersiapkan. Kayu pegangan dipotong dengan halus dan bahkan diserut. Sedangkan jenis ikatan clove-hitch pada tali menunjukkan pelaku orang terlatih dan mengerti tali-temali.

Lantas benarkah pemerintah adalah dalang operasi Petrus? Seseorang menyebut bahwa Petrus merupakan metode efektif membasmi kejahatan. Ucapan itu merupakan statement Soeharto. Pendapat itu diabadikannya dalam buku biografinya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Daripada hukum yang berlaku, kata dia, efek jera akibat Petrus terasa lebih nyata.

“Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak,” ujar Soeharto dalam buku yang terbit pada 1989 itu.

Majalah Tempo pernah mewawancarai salah seorang operator, sebutan pelaku Petrus pada 2012. Dia adalah M. Hasbi, bekas Komandan Kodim 0734 Yogyakarta. Saat diwawancarai Tempo, dia menjabat sebagai Ketua Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri Jawa Tengah. Ia tampak tidak menyesali perbuatannya. Menurutnya, OPK merupakan perintah dari atasan dan tidak melanggar aturan karena tidak ada reaksi penolakan dari masyarakat.

“Gali-gali itu sudah sangat meresahkan masyarakat sehingga harus segera diberantas,” ujar M. Hasbi yang pada 1980-an bertugas di Yogyakarta sebagai Dandim.

Operasi Petrus tersebut menurut pengakuannya dilakukan ketika terdapat situasi keamanan yang sedang terganggu. Selepas melapor ke Pangdam Diponegoro, dirinya berkoordinasi dengan polisi untuk melakukan operasi. Koordinasi tersebut dilakukan untuk membuat daftar preman yang sumbernya dari laporan masyarakat. Sumber tersebut kemudian disaring di Badan koordinasi Intelijen yang berisi intel kodim, intel polisi, dan intel kejaksaan.

“Para preman yang masuk daftar diumumkan dan diminta lapor untuk diberi Kartu Tanda Lapor (KTL). Semua preman yang menunjukan KTL akan aman, jika tidak sesuai standar akan ada operasi,” ujarnya sebagaimana dalam liputan Tempo pada 31 Juli 2012.

Di sisi lain, menurut David, Petrus hadir dari maraknya kriminalitas para preman yang kerap melakukan pemerasan dan perampokan sehingga meresahkan masyarakat. Namun, David menyebut munculnya preman merupakan kesalahan rezim Orba itu sendiri. Musababnya adalah sistem ekonomi dan tata kelola finansial yang buruk membuat rezim Orba terjebak dalam krisis ekonomi.

Akibatnya, banyak masyarakat terjebak dalam kemiskinan. Kemudian membuat mereka melihat bahwa kejahatan merupakan jalan satu-satunya untuk keluar—atau sekadar bertahan—di tengah gempuran kemiskinan. Namun di sisi lain, pemerintah bukanya mengupayakan kemiskinan, tapi malah memberantas mereka dengan cara dibunuh.

Kasus ini boleh dibilang salah satu dark number atau kejahatan yang tak tercatat di Indonesia. Padahal korbannya bukan puluhan atau ratusan, tapi dilaporkan mencapai ribuan orang. Penelitian David Bourchier pada 1990, mengungkapkan bahwa korban mencapai 10 ribu orang. Sedangkan dari pengaduan yang diterima oleh Komnas HAM, jumlah korban mencapai 2 ribu orang lebih.

Trimurjo alias Kentus, salah seorang penyintas operasi Petrus, bercerita kepada majalah Tempo pada 2012 lalu. Kala itu, pada akhir 1982, dirinya dan teman-temannya yang terbiasa hidup di jalanan ditugaskan untuk mengawal Golkar berkampanye di Yogyakarta. Namun, saat tengah malam, mereka justru diberondong oleh tim OPK. Kepada Tempo, Kentus mengaku tak tahu alasan kawan-kawannya ditembak mati.

Yang jelas, kawan-kawannya semakin banyak ditembak secara misterius pada 1982. Menyadari nyawanya terancam, Kentus meminta perlindungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada awal 1983. Dirinya mengadu pada Adnan Buyung Nasution. Di LBH, Kentus mendapatkan surat jaminan hidup. Luntang-lantung hidup di kantor LBH Yogyakarta, Kentus kemudian diserahkan ke Kodim. Di sana, ia melakukan apel setiap Senin di kantor Koramil Gedongtengen selama enam tahun.

Enam tahun menjadi tahanan, Kentus lepas dari bui. Dirinya kemudian menjual nasi kecil-kecilan untuk menghidupi anak dan istrinya. Dalam liputan yang ditulis Tempo pada 2012, Kentus kini bekerja di sebuah perusahaan mebel. Cerita Kentus bisa dibilang beruntung. Setidaknya ia tidak mati ditembak lalu ditelantarkan di jalan, hanya karena dirinya dituduh preman dan gali atau hanya sekadar memiliki tato di tubuhnya.

Yudono Yanuar dan Ananda Bintang Purwaramdhona berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |