Kenapa Koruptor Hindari Transaksi Lewat Bank?

11 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Dalam kasus korupsi, tak jarang penyidik Kejaksaan Agung menggeledah properti milik tersangka koruptor untuk mengamankan barang bukti. Barang bukti tersebut bisa berupa uang atau logam mulia seperti dalam kasus Zarof Ricar dan hakim kasus korupsi minyak goreng.

Pada kasus Zarof Ricar, penyidik Kejaksaan Agung berhasil mengamankan menyita uang tunai senilai hampir Rp1 triliun dari mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Uang tersebut diperoleh dari rumah Zarof di kawasan Senayan, Jakarta, dan di kamar Hotel Le Meridien, Bali, tempat Zarof menginap. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari penggeledahan itu penyidik menyita uang tunai dari berbagai mata uang, yaitu Rp 5,7 miliar, 74 juta dolar Singapura, 1,9 juta dolar AS, 483 ribu dolar Hong Kong, dan 71.200 euro. Jika dikonversi ke rupiah, nominalnya hampir mencapai Rp 1 triliun, yaitu Rp 920.912.303.714. 

Di kasus hakim korupsi minyak goreng, sebuah koper berisi 3.600 lembar uang pecahan 100 dolar AS atau setara dengan Rp 5,5 miliar ditemukan di bawah tempat tidur milik Ali Muhtarom, hakim yang menangani kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO. Uang tunai itu disita penyidik Kejaksaan Agung dari rumah pribadi Ali di Jepara, Jawa Tengah, berkaitan dengan kasus korupsi minyak goreng.

Baca juga: Dosa Koruptor Ditanggung Keluarga

Mengapa Koruptor Menghindari Transaksi Lewat Bank?

Dikutip dari laman PPATK dan KPK, koruptor cenderung tidak bertransaksi melalui bank karena sistem perbankan diawasi secara ketat dan meninggalkan jejak digital yang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum untuk melacak aliran dana tersebut. Berikut beberapa alasan koruptor tidak transaksi lewat bank.

1. Mudah dilacak

Transaksi melalui bank terekam secara otomatis dan permanen. Otoritas seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dapat mendeteksi transaksi mencurigakan, terutama yang tidak sebanding dengan profil keuangan pelaku.

2. Kewajiban pelaporan transaksi mencurigakan

Bank diwajibkan melaporkan transaksi yang mencurigakan atau bernilai besar ke PPATK. Ini membuat koruptor enggan menggunakan bank karena takut terdeteksi.

3. Aturan KYC dan AML

Biasanya bank menerapkan kebijakan Know Your Customer (KYC) dan Anti Money Laundering (AML), yang mewajibkan identifikasi dan verifikasi identitas nasabah. Ini menyulitkan penyamaran identitas saat melakukan transaksi ilegal.

4. Ancaman pembekuan aset

Dana dalam sistem perbankan bisa dibekukan bila terbukti terkait korupsi. Koruptor lebih memilih bentuk aset lain seperti tunai, properti, atau emas yang lebih sulit dilacak dan disita. Jika membeli properti, biasanya koruptor akan menggunakan nama orang lain sebagai pemilik sah secara hukum. Contohnya adalah kasus korupsi Rafael Alun yang terbukti menggunakan nama pekerjanya dalam aset-aset properti. 

Koruptor lebih sering menggunakan cara-cara seperti barter, pembelian aset atas nama orang lain pengiriman uang melalui kurir tunai, atau memakai jasa pencucian uang lewat bisnis fiktif atau lintas negara. Singkatnya, transaksi melalui bank terlalu berisiko bagi koruptor karena transparansi dan pengawasan tinggi.

Titik Murmalasari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |