TEMPO.CO, Jakarta - Firly Nurachim bisa tersenyum lega, ketika jaksa menuntut pemilik makanan beku bermerek Mama Khas Banjar itu lepas dari segala dakwaan atau ontslag dalam sidang perkara label kedaluwarsa yang tidak dicantumkan dalam produk UMKM tersebut.
"Menuntut terdakwa Firly untuk lepas dari segala tuntutan," kata Jaksa Penuntut Umum Febriana Rizky dalam sidang di Pengadilan Negeri Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Senin, 19 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas tuntutan itu, Ketua Majelis Hakim Rakhmad Dwinanto kemudian meminta terdakwa membuat pembelaan atau pledoi secara tertulis pada sidang berikutnya yang diagendakan pada Senin depan.
Penasihat hukum Firly, Faisol Abrori menyambut baik tuntutan jaksa dan berharap hakim bisa memutus seadil-adilnya.
Dia menyebut tuntutan lepas dari tuntutan atau disebut ontslag sudah tepat karena pelanggaran yang terjadi tidak ditemukan pidananya.
Menurut Faisol, segala upaya hukum termasuk menghadirkan Menteri UMKM Maman Abdurrahman sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan pada sidang sebelumnya berhasil meyakinkan JPU untuk menuntut kliennya lepas.
"Jaksa telah terbuka bahwa kasus ini bukanlah pelanggaran pidana, namun administratif sebagaimana semangat pembinaan UMKM oleh pemerintah," ujarnya seperti dikutip Antara.
Firly selaku pelaku usaha mikro dijerat pidana lantaran menjual berbagai macam makanan beku, makanan dan minuman kemasan yang tidak mencantumkan masa kedaluwarsa.
JPU mendakwa Firly dengan Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) huruf g dan i Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dukungan Menteri UMKM
Namun belakangan kasus ini ramai dan menjadi atensi Menteri UMKM Maman Abdurrahman agar Firly dibebaskan, karena lebih tepat penggunaan Undang-Undang tentang Pangan dengan mengedepankan pembinaan, bukan pidana.
"Undang-Undang Pangan adalah aturan yang lebih rinci dan relevan dalam kasus seperti ini. Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana sebaiknya menjadi upaya terakhir atau ultimate remedium," katanya dalam siaran pers kementerian di Jakarta, Jumat, 16 Mei 2025, seperti dikutip Antara.
Pernyataan Menteri Maman itu telah disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI —yang membidangi hukum, hak asasi manusia dan keamanan— di Jakarta, Kamis, 15 Mei, sebagai respons terhadap kasus hukum yang tengah dihadapi pelaku UMKM Mama Khas Banjar di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Maman menegaskan bahwa proses penegakan hukum pidana terhadap usaha mikro sebaiknya menjadi pilihan terakhir.
Ia menilai, dalam kasus pelabelan pangan dengan risiko rendah atau sedang, pendekatan administratif akan lebih proporsional dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang dianggap sebagai lex specialis atau hukum khusus dibandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bersifat lebih umum.
Menurut Maman, langkah ini bukan pembelaan atas kesalahan, melainkan sebuah refleksi atas perlunya penyempurnaan mekanisme penertiban dan pembinaan UMKM.
"Ini bagian dari introspeksi kami. Kementerian UMKM bertanggung jawab penuh dalam konteks permasalahan ini dan akan memperbaiki sistem perlindungan serta pembinaan terhadap UMKM," katanya.
Pelaku UMKM Buta Hukum
Ia juga mengatakan bahwa pengusaha UMKM, seperti "Mama Khas Banjar", umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum dan keterampilan administratif yang memadai. Oleh karena itu, pendekatan hukum terhadap UMKM perlu dibedakan dengan penanganan terhadap usaha menengah dan besar.
"Mereka rata-rata kurang paham soal hukum, di sinilah negara hadir melalui affirmative action. Sudah menjadi tugas saya sebagai Menteri UMKM untuk lebih menggalakkan sosialisasi, percepatan kemudahan, dan pendampingan kepada pengusaha UMKM di seluruh Indonesia," katanya.
Meskipun mengapresiasi aparat penegak hukum yang bekerja sesuai koridor hukum, Maman mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat proses hukum ini secara lebih luas dan proporsional, demi menjaga keberlangsungan ekonomi rakyat kecil.
"Apapun keputusan pengadilan, kami percaya bahwa aparat penegak hukum akan mengambil langkah yang arif dan bijaksana. Namun dengan kerendahan hati, kami sampaikan concern Kementerian UMKM agar perkara seperti ini dipandang dari kacamata ekonomi kerakyatan," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi III DPR-RI I Wayan Sudirta mendorong agar hukuman seringan-ringannya diberikan dalam kasus Mama Khas Banjar. Wayan juga mengingatkan adanya nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan Polri yang seharusnya mengedepankan sanksi administratif.
Beda Undang-Undang Pangan dan Konsumen
Dalam Undang-undang Nomor 18/ 2012 tentang Pangan, pasal 97 mengatur tentang kewajiban mencantumkan label di kemasan pangan.
Ayat 3 berbunyi:
UU Pangan Pasal 97: orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan.
Pada ayat 3 disebutkan bahwa pencatuman label minimal menyebutkan:
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;
e. halal bagi yang dipersyaratkan;
f. tanggal dan kode produksi;
g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan
i. asal usul bahan Pangan tertentu.
Ketentuan lain diatur dalam Pasal 98, pada ayat 3 berbunyi: Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan terhadap usaha mikro dan kecil agar secara bertahap mampu menerapkan ketentuan label sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bagaimana jika ada pengusaha yang melanggar ketentuan kedaluwarsa? Hal ini diatur Pasal 102 (1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1), Pasal 99, dan Pasal 100 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Namun ancaman sanksi pidana justru dijatuhkan pada pihak yang menghapus atau mengubah tanggal kedaluwarsa produk makanan seperti diatur dalam Pasal 143: Setiap Orang yang dengan sengaja menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ancaman pidana tegas diberikan kepada pengusaha yang tidak mencatumkan label kedaluwarsa.
Pasal 8 (1): Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
Pelanggar ketentuan tersebut, dikenakan Pasal 62, yaitu (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).