ICJR Sebut Penerapan Pasal Perintangan Penyidikan Terhadap Dirut Jak TV Salah

5 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti langkah Kejaksaan Agung menjerat Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar, dengan pasal perintangan penyidikan dalam penanganan kasus korupsi timah, impor gula dan minyak goreng. ICJR menilai penggunaan pasal itu tidak tepat dan berpotensi menimbulkan praktik kriminalisasi terhadap jurnalis, perusahaan media dan masyarakat sipil.

Peneliti ICJR Iqbal M. Nurfahmi mengatakan, perintangan penyidikan (obstruction of justice) seharusnya dipahami sebagai perbuatan spesifik yang bertujuan memaksa atau mencegah penyidik untuk tidak menjalankan tugasnya. Dengan demikian, harus terdapat hubungan langsung antara tindakan spesifik tersebut dengan terhambatnya pelaksanaan tugas penyidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dalam praktiknya sangat penting untuk membedakan antara tindakan menghalangi proses penyidikan dengan bentuk-bentuk pelanggaran lain, seperti praktik suap atau pelanggaran kode etik khususnya dalam konteks kerja jurnalistik,” kata Iqbal dalam keterangan resminya, Selasa, 23 April 2025.

Iqbal menilai pemberitaan bukan sebagai bentuk perintangan penyidikan, melainkan bentuk kritik. “Kejaksaan Agung telah keliru mengkategorikan kritik melalui berita sebagai bentuk tindak pidana obstruction of justice. Karya Jurnalistik dan produksi karya hasil riset dan survei merupakan aktivitas akademis yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi,” kata Iqbal.

Iqbal mengatakan, konten yang dibuat untuk menyampaikan kritik terhadap proses penegakkan hukum dan tindakan aparat penegak hukum harus dipandang sebagai tindakan pengawasan yang wajar untuk dijalankan oleh masyarakat sipil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga tidak dapat dikenakan delik pidana apapun.

“Kejaksaaan Agung harus melakukan penegakan hukum secara profesional, tanpa memberikan catatan pada perlindungan pers dengan melakukan penilaian terhadap karya jurnalistik,” ujarnya.

Namun begitu, lanjut Iqbal, pihaknya mendukung seluruh upaya Kejaksaan Agung untuk mengungkap seluruh aliran dana dan pengungkapan tindak pidana Korupsi yang merugikan kemaslahatan masyarakat Indonesia. Dia pun menegaskan bahwa jurnalis yang menerima uang dalam menjalankan tugasnya melakukan pelanggaran kode etik.

“Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik secara eksplisit menegaskan bahwa Jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya dilarang untuk menerima suap,” kata dia.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar bersama pengacara Marcella Santoso dan Junaedi Saibih sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) pada Selasa, 22 April 2025.

“Terdapat pemufakatan jahat yang dilakukan untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.

Perintangan itu, kata dia, dilakukan pada rangkaian penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. tahun 2015–2022, tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula atas nama tersangka Tom Lembong, dan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).

Marcella dan Junaedi memerintahkan Tian Bahtiar untuk membuat berita-berita negatif yang menyudutkan penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung dengan imbalan biaya sebesar Rp 478.500.000. Ketiga tersangka itu dikenai Pasal 21 Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |