Apa Dampak Pembatalan Investasi LG pada Hilirisasi?

4 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia atau Aspebindo Fathul Nugroho menilai keputusan LG Energy Solution (LGES) membatalkan proyek baterai kendaraan listrik senilai US$7,7 miliar menjadi pengingat penting bagi Indonesia untuk tidak bergantung pada satu mitra investasi. Ia menekankan pentingnya memperkuat kebijakan hilirisasi dan memperluas kerja sama strategis dengan negara mitra lainnya.

"Keputusan LGES mundur dari Proyek Titan ini menjadi pengingat bahwa Indonesia tak boleh bergantung pada satu mitra. Daya tawar dan kebijakan hilirisasi harus diperkuat dengan kemandirian investasi dari dalam negeri dan menggandeng negara mitra lainnya seperti AS dan Eropa," kata Fathul kepada Tempo, Selasa, 22 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana investasi tersebut awalnya merupakan kerja sama antara LGES dan Indonesia Battery Corporation (IBC). Kerja sama itu sebelumnya dirancang mencakup seluruh rantai pasok baterai, mulai dari pengolahan nikel hingga produksi sel baterai.

Menurut Fathul, batalnya proyek ini tak hanya menghambat target produksi baterai EV dalam negeri, tapi juga berpotensi menunda transfer teknologi strategis. "Kehilangan kesempatan alih teknologi di sektor bernilai tinggi ini bisa memperlebar ketergantungan kita pada impor," ujar Fathul.

Sebab, kata dia, kemampuan mengolah prekursor dan katoda sebagai elemen kunci dalam meningkatkan nilai tambah mineral nasional. Fathul juga mengingatkan bahwa langkah LGES bisa mempengaruhi persepsi investor asing terhadap Indonesia, yang saat ini harus bersaing dengan Thailand dan Vietnam dalam menarik investasi sektor EV. 

Ia menyebut kebijakan seperti Inflation Reduction Act di Amerika Serikat turut menjadi faktor pengalihan investasi, karena menawarkan insentif besar kepada produsen baterai di wilayah mereka. "Ini menggeser peta persaingan global. Oleh karena itu, Kementerian Investasi dan Hilirisasi bersama Satgas Hilirisasi perlu memperkuat diplomasi ekonomi dengan negara-negara target serta menyiapkan infrastruktur pendukung yang kompetitif," katanya.

Untuk mengantisipasi dampak jangka panjang, Aspebindo mengusulkan lima langkah strategis. Pertama, memperluas mitra investasi, termasuk menjajaki kembali perusahaan dari AS dan Eropa seperti Tesla, Eramet, dan Bosch, dengan insentif fiskal yang lebih menarik. Kedua, menyederhanakan regulasi, mulai dari penyediaan lahan hingga percepatan perizinan pendukung.

Ketiga, memperkuat sinergi antara pemerintah, BUMN, dan swasta nasional. “IBC harus lebih agresif membentuk joint venture dengan menggandeng swasta nasional besar, untuk teknologi dan hak kekayaan intelektualnya bisa dibeli melalui dana patungan,” ujar Fathul.

Keempat, Aspebindo mendorong alokasi khusus 20 persen dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Minerba—diperkirakan mencapai Rp37-40 triliun per tahun—untuk mendukung percepatan hilirisasi. Dana ini diusulkan digunakan untuk pengembangan teknologi dan infrastruktur industri baterai, dengan pengawasan ketat dari Satgas Hilirisasi.

Kelima, pemanfaatan kelebihan pasokan listrik dari program 35.000 MW untuk kawasan industri baterai dengan tarif khusus, serta optimalisasi diplomasi perdagangan untuk menghadapi tarif impor baterai sebesar 32 persen dari AS.

Meski kehilangan investor besar, Fathul menegaskan hilirisasi nikel tetap menjadi prioritas nasional. “Potensi nikel kita luar biasa. Kuncinya adalah konsistensi kebijakan dan kemandirian teknologi,” tuturnya. 

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |