TEMPO.CO, Jakarta - Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), David Kurniawan, mengimbau para trader mencermati sentimen neraca perdagangan Indonesia dan hasil dividen dalam perdagangan saham pekan ini. Dia mengatakan, data neraca perdagangan Indonesia bulan Maret yang akan dirilis Badan Pusat Statistik mencerminkan selisih antara ekspor dan impor, sehingga sering dijadikan indikator awal kondisi ekonomi dan kinerja sektor riil. "Surplus neraca perdagangan yang lebih besar dari ekspektasi bisa jadi sentimen positif untuk pasar saham, terutama sektor komoditas seperti CPO, batu bara, dan logam," ujar David dalam keterangan tertulis, Ahad, 13 April 2025.
Sementara itu, kata dia, defisit atau surplus yang lebih kecil bisa menekan nilai tukar rupiah. Kemudian, juga dapat memicu kekhawatiran investor yang berpotensi menimbulkan aksi jual, terutama dari investor asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, David menyebut hasil dividen yang tinggi dari sektor perbankan memberikan daya tarik tersendiri di tengah kondisi pasar yang fluktuatif. Namun, menurut dia, potensi aksi jual serta tekanan global bisa memicu pergerakan harga yang kurang stabil. "Strategi jangka menengah dan analisis fundamental tetap krusial," ujar dia.
Perdagangan saham pekan ini hanya akan berlangsung selama empat hari, yakni 14 hingga 17 April 2025. Adapun empat saham yang direkomendasikan IPOT untuk perdagangan pekan ini antara lain PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), PT Hartadinata Abadi Tbk. (HRTA), PT Indah Kiat Pulp & Paper Corp Tbk. (INKP), dan Premier ETF Indonesia Financial (XIIF).
Pada akhir perdagangan pekan lalu, tepatnya Jumat, 11 April 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 6.262. IHSG tercatat melemah sekitar 3,9 persen dibandingkan pekan sebelumnya.
David menjelaskan, ada dua sentimen global dan satu sentimen domestik yang memicu pelemahan IHSG pekan lalu. Dari faktor global, sentimen pertama adalah harga emas dunia. Dia mengatakan, harga emas telah melonjak melewati US$ 3.200 per ons, didorong oleh pelemahan dolar AS dan meningkatnya permintaan aset safe haven di tengah volatilitas pasar serta ketegangan perdagangan yang sedang terjadi. "Investor beralih ke emas sebagai lindung nilai terhadap potensi penurunan ekonomi dan fluktuasi mata uang," tutur David.
Sentimen global kedua adalah kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump. Sebagaimana diketahui, Trump memberlakukan tarif impor yang tinggi untuk sejumlah negara, bahkan tarif 145 persen bagi Cina. Menurut David, kebijakan ini memicu kekhawatiran akan perang dagang yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global. “Dampaknya terasa di berbagai pasar saham dunia, termasuk Indonesia, di mana IHSG mengalami penurunan tajam hingga 7,9 persen pada 8 April 2025," kata dia.
Untuk sentimen domestik, David menyinggung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa tarif AS diperkirakan akan memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 hingga 0,5 persen. Namun, dengan adanya penundaan pemberlakuan selama 90 hari, pemerintah berencana untuk melakukan deregulasi, pemotongan pajak, dan pelonggaran kebijakan impor guna mengurangi dampak negatif tersebut.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan pembaca.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.