Stok Cadangan Beras dari Masa ke Masa: Betulkah Tahun Ini Tertinggi?

7 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertanian atau Mentan Amran Sulaiman melaporkan stok cadangan beras pemerintah (CBP) secara nasional saat ini mencapai 3,18 juta ton. Menurut Amran, capaian stok CBP tersebut merupakan yang tertinggi di Indonesia dalam 23 tahun terakhir. Bahkan, kata dia, bisa jadi yang terbesar sejak Indonesia merdeka.

“Capaian kita saat ini, khususnya stok, itu 3.180.000 ton per hari ini. Itu tertinggi selama 23 tahun, bahkan bisa jadi itu selama (Indonesia) merdeka,” kata Mentan Amran Sulaiman ditemui di sela Rapat Koordinasi Nasional Penyuluh Pertanian di Jakarta, Sabtu, 26 April 2025, dikutip Antara, 27 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain stok, Amran juga memaparkan produksi beras nasional melonjak 50–62 persen pada periode Januari hingga April, berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Amran menyebut, capaian ini menjadi kebanggaan karena Indonesia justru surplus beras saat negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Jepang mengalami kesulitan pangan dan lonjakan harga.

“Di saat ini kita surplus (beras), di saat negara sahabat, negara tetangga Malaysia, Filipina dan Jepang kesulitan pangan. Itu kebanggaan kita,” kata Mentan.

Lantas benarkah capaian stok CBP per April 2025 ini menjadi yang tertinggi sejak 23 tahun terakhir dan bahkan disebut tertinggi sejak Indonesia merdeka?

Swasembada Beras Dari Masa Ke Masa

Dikutip dari buku Kebijakan Penyelamat Swasembada Pangan (2018) oleh Andi Amran Sulaiman, sejarah mencatat bahwa usaha membangun pertanian telah dirintis sejak era Presiden Pertama RI Sukarno pada 1945 melalui Rencana Kasimo, dan dilanjutkan dengan Rencana Kesejahteraan Masyarakat pada 1949.

Namun demikian keberhasilan pencapaian swasembada beras baru tercapai pertama kali di era Presiden ke-2 RI Soeharto pada 1984 melalui program BIMAS yang dilaksanakan sejak 1964. Soeharto berhasil mengubah Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar pada 1960-an sampai 1970-an menjadi negara dengan swasembada beras pada 1984.

Dikutip dari jurnal Universitas Islam Sultan Agung atau Unissula, Semarang, demi swasembada pangan pemerintah Orde Baru memang memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian sebagai kerja kabinet. Program itu dijuluki Pembangunan Lima Tahun atau Pelita dan berjalan dua periode antara 1969 hingga 1979. Saat itu, kebijakan pembangunan lebih banyak dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian.

Soeharto memiliki ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan cara mengadopsi program revolusi hijau sejak 1974. Program berbiaya mahal tersebut kemudian menghasilkan swasembada beras pada 1984, 1985, dan 1986 berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS.

Disadur dari Mengulang Sukses Swasembada Beras dari Zaman Orde Baru (2022) oleh Syahrul Yasin Limpo, berkat capaian tersebut Indonesia kemudian mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional (Food Agriculture Organization/FAO) pada 22 Juli 1986. Sebuah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya sejarah besar dalam bidang pangan.

Direktur Jenderal FAO, Dr. Edouard Souma, memberikan penghargaan tersebut secara langsung kepada Soeharto dalam bentuk medali. Medali itu diberi nama “from rice importer to self suciffiency” yang mencerminkan keberhasilan Indonesia dalam melakukan swasembada pangan khususnya atas tingkat produksi beras. Pemberian medali itu adalah yang pertama kalinya dilakukan.

Dr. Edouard Souma mengucapkan terima kasih kepada Soeharto atas pencapaian ini yang diuraikan dalam sebuah pidato di Roma, Italia, pada tahun sebelumnya yang bertepatan dengan perayaan 40 tahun FAO. Beriringan dengan peristiwa ini, melalui FAO, Indonesia bahkan memberikan bantuan pangan berupa 100 ribu ton beras kepada warga Afrika yang saat itu sedang kekurangan pangan.

Akan tetapi, swasembada pangan itu tak bertahan lama. Upaya membangun kemandirian di sektor pertanian justru berakhir menjadi drama pergantian kekuasaan. Nyaris sama situasinya menjelang 1965 di mana harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Pada 1994, pemerintah mengambil kebijakan yang cukup kontroversial, yaitu menghapuskan subsidi pupuk dan bibit.

Kebijakan ini terpaksa diambil, lantaran semakin beratnya beban anggaran yang ditanggung APBN. Petani pun mengalami kesulitan bercocok tanam karena biaya untuk menanam padi melonjak. Penjaminan melalui Koperasi tak lagi memberikan harapan bagi petani untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan, terutama di kalangan petani kecil.

Akibatnya, keran impor beras pun dibuka secara jorjoran untuk mengamankan pasokan beras di dalam negeri. Nilai tukar Rupiah yang semakin anjlok sejak 1990 mengakibatkan tingkat volatilitas harga beras dan sejumlah kebutuhan pokok menjadi kian merangkak. Harga-harga kebutuhan pun terus melonjak naik dan tidak terkendali.

Gejolak harga pangan sejak 1985 tersebut mulai mencapai puncaknya pada pertengahan 1997 sebelum akhirnya angka inflasi mencapai di atas angka 70 persen pada 1998. Stabilisasi harga harus ditebus cukup mahal dengan meminimalkan peran pemerintah, termasuk menanggalkan peran Bulog berdasarkan Letter of Intent (LoI) pada 21 Oktober 1997.

Menurut Iwan Hermawan dalam Kebijakan Perberasan Indonesia dan Solidaritas Pangan ASEAN (2016), setelah kejatuhan Orde Baru dan dimulainya era reformasi, seiring hilangnya kewenangan memonopoli impor beras oleh Bulog, swasembada beras di periode 1998-1999 hanyalah guyonan. Apalagi setelah impor beras sepenuhnya dikendalikan oleh pihak swasta, impor beras mencapai rekor tertinggi yakni 3 juta ton.

Lantaran mencopot peran Bulog memonopoli impor bukan ide yang bagus, pada 2000-an, peran itu dikembalikan. Pihak swasta masih diperbolehkan mengimpor beras, tetap hanya untuk beras kualitas premium. Di era pasar bebas terkendali ini, tingkat impor tetap tinggi, namun Bulog membuat kebijakan agar harga beras tetap stabil.

Di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, swasembada pangan dicanangkan pada Oktober 2012. Kala itu ada lima komoditas yakni beras, gula, jagung, kedelai, serta daging sapi yang direncanakan tidak perlu impor. Sayangnya menjelang akhir masa pemerintahannya, target ini tidak tercapai. Indonesia bahkan tercatat jorjoran impor produk pertanian, termasuk beras.

Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi BPS saat itu, Adi Lumaksono, dalam sosialisasi hasil sensus pertanian pada Agustus 2013 di Jakarta, selama 10 tahun impor produk pertanian mengalami peningkatan cukup signifikan hingga empat kali lipat. Pada 2003, impor produk pertanian sebesar 3,34 miliar dolar AS, melonjak pada 2013 mencapai 14,90 miliar dolar AS.

“Dollar kita terpaksa dibayarkan keluar banyak untuk produk pertanian, padahal kita negara agraris,” kata Adi.

Lantas bagaimana impor pangan di era Jokowi? Perbandingan impor pangan era SBY dan Jokowi pernah diungkapkan Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih pada 2019 lalu. Pada periode kedua dari SBY, total impor beras yaitu 6,6 juta ton, sementara dalam empat tahun Jokowi menjabat sejak 2014 hingga 2019, sudah mengimpor 4,7 juta ton.

Pada awal 2024, Gibran Rakabuming Raka selaku calon wakil presiden di Pilpres 2024 dalam debat keempat cawapres pada Ahad, 21 Januari mengklaim bahwa Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras sejak 2019 hingga 2022. Namun, putra sulung Jokowi itu berpendapat Indonesia gagal swasembada beras pada 2023 lantaran karena El Nino.

“Karena ini masalah pangan impor, 2019 sampai 2022 kita sebenarnya sudah swasembada beras. Tahun 2023, kita ada impor karena El Nino. Ini juga terjadi di belahan dunia,” kata Gibran.

Di sisi lain, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah membantah pernyataan Gibran, baik soal swasembada beras maupun soal El Nino. Pihaknya menyebut tidak ada swasembada beras pada masa pemerintahan Jokowi. Merujuk pada data BPS, ujar dia, sejak 2014 hingga 2023 Indonesia selalu melakukan impor beras dan cenderung meningkat jelang pemilihan umum (pemilu).

Misalnya, pada 2018 atau satu tahun menjelang Pemilu 2019, impor beras melonjak jadi 2,25 juta ton, dari tahun 2017 yang terdata sekitar 305 ribu ton. Hal serupa juga terjadi menjelang Pemilu 2024. Impor beras pada 2023 mencapai 3,06 juta ton, naik 613,61 persen dibandingkan 2022.

Menurut Said, lonjakan impor tersebut juga tidak memiliki relevansi dengan fenomena El Nino. Kendati El Nino berperan terhadap musim di Indonesia dan berpotensi menyebabkan gagal panen, namun data BPS menunjukkan produksi gabah kering giling (GKG) pada 2023 berpotensi lebih tinggi dibandingkan 2022.

Capaian GKG per Oktober 2023 mencapai 53,63 juta ton, sementara capaian sepanjang 2022 tercatat 54,75 juta ton. Di samping itu, produksi beras pada 2022 sebanyak 31,5 juta ton, dan periode Januari-Oktober 2023 mencapai 30,9 juta ton, yang mengindikasikan produksi beras Indonesia tidak terpengaruh El Nino.

“Jadi sangat tidak tepat kalau El Nino dijadikan rujukan untuk mengungkapkan kebutuhan impor beras dengan skala masif, terbesar dalam sejarah republik ini berdiri. Saya melihat ada indikasi ketidakwajaran dalam hal besarnya volume impor beras pada tahun 2023,” kata Said, dikutip Antara, 23 Januari 2025.

Di era Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto, swasembada pangan mulai dicoba-coba per tahun ini. Komitmen ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan. Ia memastikan Indonesia sudah tidak lagi impor sejumlah komoditas seperti beras, jagung, kedelai, gula, hingga garam per 2025.

“Dipastikan tidak impor beras, jagung, gula. Ada juga garam,” ujar Zulhas saat menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) 2025 di Diamond Solo Convention Center, Kota Solo, Jawa Tengah, Rabu, 15 Januari 2025.

Cita-cita swasembada pangan oleh Prabowo itu sudah lama disampaikan. Salah satunya saat menyampaikan pengantar Sidang Kabinet Paripurna di Ruang Sidang Kabinet, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 2 Desember 2024. Prabowo yakin Indonesia tidak mengimpor beras lagi pada 2025. Pasalnya, produksi pangan nasional belakangan terus meningkat.

“Dan sangat besar kemungkinan dan keyakinan saya tahun 2025, kita tidak akan impor beras lagi,” kata Prabowo seperti dikutip Antara.

Untuk mencapai swasembada pangan itu, pemerintah membidik surplus produksi beras minimal 5 hingga 6 juta ton pada tahun ini. Menurut Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, pemerintah menetapkan target tersebut agar Indonesia dapat terbebas dari impor beras.

“Kan produksi itu setiap tahun sekitar 30 hingga 31 juta ton. Kalau ngin betul-betul tidak impor beras, dalam setahun itu harus surplus minimal 5-6 juta ton,” ujar Sudaryono dalam keterangan resminya, Rabu, 12 Maret 2025.

Sudaryono mengungkap, produksi beras nasional hingga April 2025 mengalami surplus dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sekitar 2,8 hingga 3 juta ton. Menurut dia, Prabowo meminta agar tren ini dapat dipertahankan mengingat kondisi sejumlah negara tengah mengalami krisis bahan pangan tersebut.

Adapun menurut laman Badan Pangan Nasional, tekad menyetop importasi beras yang digagas Pemerintahan Presiden Prabowo dilaporkan turut mempengaruhi penurunan harga beras di pasar internasional. Hal tersebut diungkapkan Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi dalam Rapat Koordinasi Bidang Pangan Provinsi Banten yang dihelat di Pendopo Gubernur, Serang, Banten, 10 Januari 2025.

“Ternyata kebijakan kita turut memicu harga beras di pasar dunia turun. Begitu Pak Menko sampaikan bahwa kita tidak mengimpor 4 produk pangan, salah satunya beras. Beras dari beberapa negara turun mulai dari USD 640 per metrik ton, turun lagi ke USD 590 sampai USD 490. Hari ini sudah dekat-dekat di USD 400-an. Jadi luar biasa kebijakan kita hari ini,” kata Arief.

Septia Ryanthie, Yudono Yanuar, Han Revanda, Fajar Pebrianto, Frisky Riana, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |