REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemerintah untuk tidak menetapkan status bencana nasional di Sumatera menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai langkah itu sulit dilepaskan dari faktor keterbatasan fiskal di pengujung 2025.
“Sikap pemerintah yang enggan menetapkan status bencana nasional, satu-satunya alasan yang masuk akal adalah soal keterbatasan anggaran,” ujar Bhima saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (1/12/2025).
Bhima menyoroti postur belanja negara yang berubah drastis akibat efisiensi anggaran yang sudah telanjur dialihkan ke program prioritas lain seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), sehingga ruang fiskal untuk tanggap darurat menyempit. Menurut Bhima, hasil efisiensi yang sudah masuk ke sejumlah program besar, termasuk MBG, membuat pos tanggap bencana berkurang signifikan.
“Anggaran sudah akhir tahun dan terlanjur hasil efisiensi masuk ke program seperti MBG. Hasilnya anggaran untuk tanggap bencana berkurang signifikan,” lanjut Bhima.
Catatan CELIOS, ucap Bhima, menunjukkan pemerintah lebih sibuk dengan kebijakan yang bersifat populis dan lalai terhadap krisis ekologis. Pada 2026, Bhima menyampaikan, anggaran MBG mencapai Rp 335 triliun atau sekitar 8,72 persen dari belanja negara yang sebesar Rp 3.842,7 triliun.
Bhima membandingkan anggaran MBG yang tercatat 125 kali lebih besar dibandingkan anggaran untuk BMKG sebesar Rp 2,67 triliun, 240 kali lebih besar ketimbang Basarnas yang sebesar Rp 1,4 triliun, dan 680 kali lebih banyak dibandingkan anggaran untuk BNPB yang hanya sebesar Rp 490 miliar.
“Ironisnya, justru lembaga-lembaga inilah yang menangani dampak bencana akibat deforestasi dan krisis iklim. Sektor penting kekurangan anggaran, sementara program konsumsi jangka pendek membengkak,” ungkap Bhima.
Bhima menyebut efisiensi dari pusat turut melemahkan kapasitas respons di daerah, terutama menghadapi bencana ekologis dan dampak kerusakan lingkungan. Banyak daerah, ucap dia, akhirnya menanggung beban sendiri karena anggaran transfer dan dana kedaruratan ikut terdampak pemangkasan.
“Pelajaran bagi 2026, anggaran MBG sebesar Rp 335 triliun harus dipangkas dan dikembalikan ke pos belanja yang terkena efisiensi, termasuk dana tanggap bencana hingga dana transfer daerah,” kata Bhima.

48 minutes ago
2














































