Polisi, Pengayom Rakyat atau Perisai Kekuasaan?

1 day ago 2

Image Ahmad Fahmi Fadilah

Update | 2025-08-31 13:45:02

Sejak awal berdirinya, institusi kepolisian di Indonesia dibangun dengan semangat luhur: mengayomi masyarakat, menegakkan hukum, serta menjaga ketertiban. Itulah jargon yang terus digaungkan dalam setiap spanduk, baliho, hingga motto yang terpampang di kantor-kantor polisi: “Rastra Sewakottama” abdi utama nusa dan bangsa. Kata-kata itu terdengar indah, penuh makna pengabdian. Namun, realitas di lapangan seringkali memunculkan pertanyaan yang getir: apakah polisi sungguh mengabdi kepada rakyat, atau justru lebih sering tampil sebagai benteng kekuasaan?

Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita melihat berbagai peristiwa belakangan ini. Ada warga kecil yang menjadi korban tindakan represif aparat, ada mahasiswa yang dibubarkan dengan gas air mata ketika menyuarakan kritik, ada pengemudi ojek online yang justru meregang nyawa karena kelalaian aparat di lapangan. Semua peristiwa itu seolah meruntuhkan gambaran polisi sebagai pelindung. Yang muncul justru wajah lain: polisi yang tampak gagah di hadapan rakyat kecil, tetapi kerap bungkam di hadapan para pemilik modal dan penguasa.

Masyarakat lalu bertanya-tanya, di pihak mana polisi berdiri? Apakah benar di sisi rakyat, atau lebih nyaman menjadi perisai bagi para penguasa yang takut kehilangan kursi dan kuasa?

Polisi idealnya berdiri di garis tengah: netral, adil, dan bekerja sesuai hukum. Namun, kenyataan menunjukkan kecenderungan berbeda. Dalam banyak kasus, aparat bergerak cepat jika menyangkut kepentingan pejabat atau elit politik. Tetapi ketika rakyat biasa melapor, tak jarang prosesnya berbelit, lambat, bahkan kadang diabaikan. Fenomena ini membuat citra polisi perlahan terkikis: dari pelindung yang diharapkan, menjadi institusi yang dicurigai.

Luka publik semakin dalam ketika polisi tampak represif pada demonstrasi damai. Seolah suara rakyat dianggap ancaman, padahal demonstrasi adalah hak konstitusional. Gas air mata dan pentungan seakan menjadi bahasa resmi negara ketika berhadapan dengan aspirasi rakyat. Ironisnya, ketika korupsi merajalela di lingkaran elit, atau ketika pejabat tinggi terlibat skandal, polisi justru berjalan hati-hati, penuh kompromi, bahkan kadang bersembunyi di balik alasan “proses hukum masih berjalan”.

Inilah yang memunculkan istilah sinis di masyarakat: polisi bukan lagi pengayom, melainkan “penjilat tikus negara” sebuah metafora pahit untuk menggambarkan aparat yang lebih memilih tunduk pada penguasa ketimbang berpihak pada rakyat. Ungkapan ini lahir bukan dari kebencian, tetapi dari rasa kecewa dan putus asa.

Meski demikian, kita tidak boleh lupa bahwa di tubuh kepolisian juga ada banyak individu baik yang sungguh-sungguh ingin mengabdi. Ada polisi yang rela berpanas-panasan mengatur lalu lintas, ada yang sabar mendampingi korban kekerasan, ada pula yang berjuang melawan narkoba meski mempertaruhkan nyawa. Hanya saja, suara mereka sering tertutupi oleh perilaku buruk oknum dan kebijakan institusional yang condong pada kepentingan politik.

Jika polisi ingin kembali dipercaya rakyat, jalan satu-satunya adalah mengembalikan jati dirinya: menjadi pelindung, bukan pelindas. Menjadi sahabat masyarakat, bukan momok yang ditakuti. Menjadi institusi hukum yang adil, bukan sekadar alat kekuasaan. Keberanian untuk berbenah, membersihkan diri dari korupsi internal, menindak aparat yang arogan, serta berdiri tegak di hadapan siapapun entah rakyat kecil atau pejabat tinggi itulah yang akan menentukan arah masa depan kepolisian.

Sebab, pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat polisi dari jumlah rantis, gas air mata, atau barikade yang mereka pasang. Sejarah hanya akan mencatat: apakah polisi berdiri bersama rakyat, atau justru melawan rakyat. Dan di titik inilah, pertanyaan sederhana tapi tajam itu kembali menggema: polisi kita, pelindung masyarakat, atau sekadar penjilat bagi tikus negara?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |