Pesantren, Media, dan Krisis Literasi

4 hours ago 2

Oleh : Fahmi Salim, Pendiri Al-Fahmu Institute dan Alumni Pesantren Darussalam Ciamis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun terakhir, muncul ketegangan yang berulang antara dunia pesantren dan media — baik media sosial maupun media arus utama. Setiap kali terjadi kasus hukum yang melibatkan individu di lingkungan pesantren, pemberitaan sering kali digiring ke arah sensasional dan menyudutkan. Pesantren digambarkan sebagai lembaga tertutup, keras, dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Padahal, realitasnya jauh lebih kompleks. Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua dan paling organik di Indonesia — tempat bertemunya ilmu, adab, dan kebudayaan. Ia bukan hanya pusat transmisi keilmuan Islam, tetapi juga motor sosial-ekonomi yang menjaga denyut kehidupan di pedesaan.

Ironisnya, ketika pesantren berkontribusi bagi kemanusiaan dan kebangsaan, berita positif jarang mendapat ruang di media. Namun ketika ada kasus, pesantren seolah menjadi kambing hitam.

Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalannya bukan sekadar pada “berita buruk” sesuai kaidah ‘bad news is good news’, tetapi pada krisis literasi kultural yang melanda sebagian kalangan media dan publik urban.

Logika Media dan Bias Budaya

Kita harus memahami, media modern bekerja dengan logika algoritma dan sensasi. Berita yang tenang dan edukatif kerap kalah oleh narasi yang provokatif dan emosional. Dalam konteks ini, tradisi pesantren — yang penuh nilai kesantunan, ketundukan, dan penghormatan — sering kali dipersepsikan negatif oleh mereka yang membaca dengan kacamata modern-sekuler.

Bagi masyarakat pesantren, penghormatan santri kepada kiai adalah bagian dari ta’dzim dan etika keilmuan. Namun bagi sebagian kalangan media, ini kadang disalahartikan sebagai kultus individu. Kesalahan persepsi semacam ini menjadi sumber jarak sosial dan prasangka.

Lebih jauh lagi, media sering gagal membedakan antara oknum dan institusi.

Ketika satu guru pesantren melanggar hukum, seluruh lembaga diseret dalam stigma kolektif. Padahal, prinsip keadilan mengajarkan bahwa kesalahan individu tidak bisa digeneralisasi menjadi kesalahan sistem.

Introspeksi Dari Dalam Pesantren

Namun, kita juga tidak bisa menolak bahwa pesantren perlu berbenah.

Ada beberapa catatan penting yang perlu menjadi refleksi internal para pemangku kepentingan pesantren:

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |