Mencegah Burnout pada Atlet Muda dengan Peran Kunci Orang Tua dan Pelatih

21 hours ago 6

Atlet muda di Garuda Baseball dan Softball Club. (Grafis: Yudhy Kurniawan/Skor.id) Yudhy Kurniawan/Skor.id

SKOR.id - Tidak sedikit atlet muda yang berhenti sebelum sempat mencapai puncak prestasi mereka.

Beberapa karena cedera, sebagian karena tekanan berlebih, dan banyak karena satu hal yang tak selalu tampak: burnout, atau kejenuhan ekstrem dalam berolahraga.

Burnout bukan hanya soal lelah fisik. Ia muncul perlahan dari stres berkepanjangan, tekanan mental yang terus menumpuk, dan hilangnya rasa senang dalam berolahraga.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Yang mengejutkan, banyak kasus burnout ini muncul bukan karena kurangnya semangat dari sang anak, tetapi justru dari lingkungan sekitar yang tidak sensitif terhadap beban mental dan emosional mereka.

Di sinilah peran orang tua dan pelatih menjadi sangat penting: bukan hanya mendukung prestasi, tetapi melindungi semangat dan kebahagiaan anak dalam berolahraga.

Mengutip laporan Tempo.co, banyak atlet muda di Indonesia pensiun dini bukan karena kemampuan yang terbatas, tetapi karena tekanan yang terlalu berat dan minimnya dukungan emosional.

Ini sejalan dengan hasil pengamatan kami di lapangan: anak-anak yang semula penuh semangat, tiba-tiba kehilangan minat, mulai menghindari latihan, dan akhirnya mengundurkan diri dari tim.

Jika kita ingin menjaga keberlanjutan karier atlet muda, maka langkah paling efektif bukan hanya membangun fisik mereka—tetapi mencegah mereka kehabisan semangat di tengah jalan. 

Peran Orang Tua: Lebih dari Sekadar Penonton di Tribun

Orang tua adalah pendamping utama dalam perjalanan olahraga anak. Cara orang tua merespons kemenangan, kegagalan, bahkan ekspresi emosi anak, akan sangat memengaruhi bagaimana anak memandang olahraga.

1.Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil

Daripada menanyakan, "Menang berapa?", cobalah bertanya, “Apa yang kamu pelajari dari pertandingan tadi?”. Apresiasi pada usaha dan semangat jauh lebih berharga daripada hanya menyorot skor akhir

2. Pastikan Anak Mendapat Istirahat yang Cukup

Dorong anak untuk tidur minimal 8 jam sehari dan punya waktu santai yang bebas dari olahraga. Waktu istirahat bukan kemunduran, tapi bagian dari pertumbuhan.

3.Bangun Komunikasi yang Terbuka dan Empatik

Luangkan waktu untuk bertanya dengan tulus: “Kamu masih senang ikut latihan, nggak? Apa ada yang bikin kamu tertekan akhir-akhir ini?”. Dengarkan tanpa buru-buru memberi solusi atau menasihati. Cukup jadi tempat aman untuk anak mengekspresikan rasa lelahnya.

4. Bantu Anak Menyeimbangkan Hidup

Dukung anak untuk tetap punya waktu bermain, belajar, dan bersosialisasi. Olahraga adalah bagian dari hidup, bukan seluruh hidup.

Peran Pelatih: Membina, Bukan Menekan

Pelatih sering kali menjadi figur yang sangat dihormati oleh anak. Ucapan dan sikap pelatih bisa menjadi bahan bakar semangat, tapi juga bisa tanpa sadar menjadi sumber tekanan.

1.Ciptakan Suasana Latihan yang Menyenangkan.

Latihan yang menyenangkan akan membantu tubuh memproduksi endorfin dan dopamin, hormon alami yang membuat anak merasa bahagia. Bahkan latihan keras seperti push-up atau lari pole-to-pole bisa terasa memuaskan jika dilakukan dalam atmosfer yang positif.

2.Terapkan Cross-Training dan Variasi Aktivitas.

Berikan anak kesempatan mencoba bentuk latihan lain untuk mencegah kejenuhan. Variasi ini juga membantu mencegah cedera karena penggunaan otot yang sama secara terus-menerus.

3.Ajarkan Teknik Manajemen Stres.

Latih anak melakukan peregangan, meditasi ringan, atau visualisasi positif sebelum pertandingan. Ini melatih mereka menjadi atlet yang tangguh bukan hanya fisik, tetapi juga mental.

4.Sesuaikan Porsi Latihan dengan Usia dan Kondisi.

Setiap anak punya batas fisik dan mental yang berbeda. Komunikasi dengan orang tua dan observasi langsung sangat penting agar porsi latihan tidak berlebihan.

Kolaborasi Adalah Kuncinya

Orang tua dan pelatih bukan dua kutub yang terpisah. Justru ketika keduanya bekerja sama, berbagi informasi, dan saling menguatkan, anak akan merasa didukung secara utuh.

Jika pelatih merasa anak mulai jenuh, bicarakan dengan orang tua. Jika orang tua melihat anak sering mengeluh atau murung setelah latihan, sampaikan dengan bijak kepada pelatih.

Kolaborasi ini bisa jadi penentu antara anak yang bertahan dan tumbuh—atau anak yang menyerah dan berhenti.

Burnout bisa dicegah jika orang dewasa di sekeliling anak menyadari bahwa kebahagiaan adalah fondasi dari prestasi yang berkelanjutan.

Atlet muda bukanlah mesin pencetak medali. Mereka adalah anak-anak yang sedang tumbuh—belajar mengenal diri, berani mencoba, dan butuh cinta tanpa syarat.

Jadi, mari kita bantu mereka untuk tidak hanya menang… tetapi juga tetap bahagia. Karena senyum mereka di lapangan, itulah kemenangan yang paling sejati.


Sumber: skor.id

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |