Jurus Menkeu Mendongkrak Perekonomian

2 hours ago 2

Oleh : Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski diawali kontroversi akibat gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa segera memulai gebrakan sebagaimana ia janjikan. Pengalihan dana pemerintah dari Bank Indonesia menjadi langkah pertama Menkeu baru untuk membangkitkan perekonomian Indonesia yang tengah lesu.

Menurut Menkeu, sistem finansial Indonesia dinilai agak kering, sehingga ekonominya melambat. Dalam satu dua tahun terakhir, kita bisa melihat orang cenderung kesulitan mencari kerja dan kesulitan mengembangkan aktivitas perekonomian karena pasar yang lesu. Untuk mendorong agar aktivitas ekonomi kembali terdongkrak, dari Rp 425 triliun dana pemerintah di BI, kemudian sebanyak Rp 200 triliun digeser ditempatkan di perbankan nasional dengan tujuan untuk memperkuat likuiditas –sekaligus mendukung pergerakan pasar.

Dana pemerintah yang diparkir di BI, dinilai tidak akan memberikan manfaat kalau dibiarkan hanya menganggur. Dana yang di antaranya berasal dari sisa anggaran lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), akhirnya diputuskan untuk ditebar ke sejumlah bank milik Danantara.

Melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 276/2025, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Negara Indonesia masing-masing mendapatkan suntikan dana sebesar Rp 55 triliun. Sementara Bank Tabungan Negara mendapatkan Rp 25 triliun dan bank Syariah Indonesia mendapatkan Rp 10 triliun. Tenor penempatan dana dipatok 6 bulan dan bisa diperpanjang. Skema penempatan fleksibel, yakni deposito on call, sehingga bisa ditarik sewaktu-waktu jika pemerintah membutuhkan.

Dampak

Sejauh mana penempatan dana pemerintah ke sejumlah bank terbukti mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen, tentu masih akan diuji oleh waktu. Di tengah perlambatan kondisi ekonomi global dan nasional, tekanan fiskal, serta kebutuhan pembiayaan dalam negeri besar, keputusan Menkeu menggelontorkan dana Rp 200 triliun ke perbankan, harus diakui adalah pilihan langkah yang strategis.

Berdasarkan pengalaman, kebijakan Menkeu menempatkan dana pemerintah ke perbankan sebetulnya bukan hal yang baru. Pemerintah pernah menggandakan kredit pada periode 2020-2021 di mana penempatan dana pemerintah sebesar Rp 66,99 triliun, ternyata memicu sekitar Rp 382-387 triliun kredit. Artinya, injeksi dana yang besar dengan tata kelola dan target sektor yang ketat berpotensi mengungkit pembiayaan beberapa kali lipat. Berkaca dari pengalaman inilah, keputusan Menkeu mengucurkan dana ke bank-bank milik pemerintah diharapkan dapat menghasilkan efek yang sama.

Tujuan penempatan dana pemerintah di perbankan sebenarnya sederhana, yaitu menjaga stabilitas sistem keuangan, meningkatkan likuiditas bank, sekaligus mendorong penyaluran kredit ke sektor riil. Secara garis besar, dampak yang diharapkan timbul dari penempatan dana ini adalah: Pertama, meningkatkan likuiditas perbankan sehingga dapat mendorong penyaluran kredit ke sektor riil. Dengan tambahan Rp 200 triliun, bank akan memiliki cadangan likuiditas yang lebih longgar, yang membuat bank lebih percaya diri untuk menyalurkan kredit, menurunkan suku bunga dan mempercepat proses restrukturisasi kredit macet.

Kedua, menurunkan biaya dana (cost of fund) perbankan sehingga berdampak pada penurunan suku bunga kredit. Dengan likuiditas longgar, bank tidak perlu bersaing keras menarik dana masyarakat melalui deposito berbunga tinggi. Akibatnya, suku bunga deposito cenderung turun, dan diikuti penurunan bunga kredit. Hal ini baik bagi dunia usaha karena biaya modal menjadi lebih murah. Ketiga, meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan menjaga stabilitas keuangan negara.

Menurut ketentuan, Menkeu tetap menetapkan walaupun pihak bank diberi keleluasaan menggunakan uang itu, tetapi tidak boleh untuk membeli surat utang negara (SUN). Dengan menyalurkan kredit untuk usaha-usaha yang prospektif, diharapkan perekonomian di masyarakat akan dapat bergerak dan meningkat. Skenario yang diharapkan adalah dengan menempatkan dana pemerintah di bank-bank tertentu, diharapkan kredit akan mengalir ke berbagai kegiatan padat karya seperti perumahan terjangkau, proyek konstruksi terkait, serta pembiayaan produktif bagi UMKM di desa.

Hasil akhirnya, serapan tenaga kerja diharapkan meningkat terutama di sektor konstruksi dan rantai pasok bahan bangunan yang menyerap jutaan pekerja. Kemudian, serapan tenaga kerja juga diharapkan terjadi di kalangan UMKM yang menyumbang porsi dominan pekerjaan nasional. Dimulai dari akses kredit murah yang disalurkan perbankan, di lapangan diharapkan akan berubah menjadi perekrutan karyawan, pembelian bahan baku, dan perluasan kapasitas usaha. Inilah skenario yang diharapkan. Pemerintah mematok bunga penempatan dana di bank hanya 80,476 persen dari BI Rate. Dengan BI Rate saat ini di level 5%, maka bunga yang harus dibayar bank hanya sekitar 4,02 persen. Ini lebih rendah dari rata-rata bunga deposito tenor 6 bulan yang mencapai 6,07 persen per Juli 2025.

Intinya dengan memberi injeksi Rp 200 triliun ke lembaga perbankan, dampaknya bukan hanya mempercantik neraca bank, melainkan juga diharapkan akan mendorong lahirnya berbagai proyek baru, memperluas usaha, dan menciptakan lapangan kerja secara terukur. Masalahnya adalah bagaimana memastikan skenario yang diharapkan itu benar-benar terealisasi di lapangan. Kita tentu paham bahwa keberhasilan penyaluran kredit sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian. Meski bank mendapat tambahan likuiditas, jika di lapangan permintaan kredit tetap lemah karena pelaku usaha enggan berekspansi di tengah ekonomi yang lesu, maka dampak kebijakan Menkeu niscaya akan sulit terealisasi.

Memastikan

Untuk memastikan dampak penempatan dana pemerintah di lembaga perbankan dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan, harus diakui masih banyak hal yang perlu dilakukan. Keputusan Menkeu tidak mungkin sukses jika tidak didukung kebijakan lain. Kebijakan Menkeu ini perlu ditopang oleh langkah-langkah lain yang mampu memperbaiki ekosistem perekonomian secara simultan agar keputusan melakukan injeksi likuiditas benar-benar mendorong aktivitas sektor riil.

Salah satu resiko yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan kebijakan Menkeu ini justru akan berdampak kontra-produktif. Penambahan likuiditas besar-besaran ke perbankan jika tidak disalurkan untuk mendukung perkembangan ekonomi, justru sebaliknya akan beresiko mendorong kelebihan uang beredar, terutama jika dana tidak tersalurkan secara produktif. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin justru berpotensi meningkatkan inflasi. Pengalaman telah banyak membuktikan, ketika likuiditas seret, aktivitas bisnis melambat, investasi tertunda, dan konsumsi menurun, maka dampaknya akan dapat menimbulkan terjadinya krisis.

Alih-alih berpuas diri hanya dengan menempatkan dana pemerintah di perbankan, agenda ke depan yang tak kalah penting adalah bagaimana mencegah penyaluran kredit yang tidak tepat sasaran, mencegah agar dana penempatan itu tidak mengalir ke sektor konsumtif, dan mencegah agar dana itu tidak malah menyebabkan terjadinya inflasi dan malah menambah beban utang negara dan bahkan mengurangi kemampuan pemerintah membiayai program-program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |