TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan produk halal di Indonesia kini menjadi sorotan Amerika Serikat. AS mengkritik kebijakan ini karena dianggap menjadi hambatan perdagangan non-tarif.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia menekankan pentingnya jaminan kehalalan demi perlindungan konsumen Muslim.
Dua dokumen penting yang menjadi rujukan dalam tulisan ini adalah Laporan Hambatan Perdagangan Asing atau Foreign Trade Barriers Report 2025 dari Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
Indonesia Butuh Kepastian Produk Halal
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pemerintah Indonesia menganggap sertifikasi halal sebagai bentuk perlindungan konsumen sekaligus jaminan kepastian hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam PP No. 42 Tahun 2024 yang merupakan revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, dijelaskan bahwa seluruh produk yang beredar, masuk, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali jika berbahan haram, yang justru harus diberi label “tidak halal” (Pasal 2 ayat 1–3).
Aturan ini mencakup seluruh proses, dari penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi. Pemerintah juga mengatur secara ketat agar alat dan tempat produksi halal harus dipisahkan dari yang tidak halal, baik secara fisik maupun dalam prosedur operasional.
Penerapan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) ini dimaksudkan agar seluruh proses berjalan konsisten dan terintegrasi, dengan pengawasan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pemerintah memberlakukan aturan ini dengan tujuan memberikan rasa aman bagi konsumen dan mendorong pelaku usaha untuk mengikuti prinsip-prinsip syariah dalam produksi.
Amerika Serikat Menilai Aturan Terlalu Rumit
Di sisi lain, AS melalui USTR menilai bahwa kebijakan halal Indonesia menimbulkan hambatan bagi akses produk asing ke pasar domestik.
Dalam Laporan Hambatan Perdagangan 2025, AS mengkritik proses regulasi halal Indonesia karena dianggap tidak transparan dan minim konsultasi publik. Banyak peraturan, seperti Keputusan Menteri Agama No. 748/2021 dan Keputusan No. 816/2024, diberlakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selain itu, prosedur akreditasi untuk lembaga sertifikasi halal asing (HCB) dinilai rumit dan memberatkan. BPJPH mensyaratkan akreditasi melalui dokumen berulang, rasio ketat auditor halal, dan perjanjian pengakuan timbal balik (MRA). Hal ini menambah beban biaya dan waktu bagi eksportir AS, terutama dalam sektor makanan, kosmetik, dan farmasi.
Titik Tegang di WTO
AS telah beberapa kali mengangkat isu ini di forum WTO, terutama dalam Komite Technical Barriers to Trade (TBT). Mereka menilai Indonesia melanggar komitmennya untuk memberikan pemberitahuan dini atas regulasi yang berdampak perdagangan. USTR menekankan bahwa walaupun mereka menghargai perlunya sistem halal, prosedur yang terlalu birokratis dan diskriminatif dapat menghambat perdagangan bebas dan adil.
Sebaliknya, Indonesia menganggap bahwa aturan tersebut bersifat domestik dan tidak diskriminatif karena diberlakukan kepada semua pelaku usaha, baik dalam maupun luar negeri.
Perbedaan pandangan ini menunjukkan pentingnya dialog terbuka antara negara mitra dagang. Indonesia perlu terus meningkatkan transparansi dan efisiensi sistem sertifikasi halal agar tidak menimbulkan persepsi diskriminatif. Sementara itu, AS dan negara lain juga perlu menghargai kedaulatan Indonesia dalam menetapkan kebijakan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan domestiknya.