Detik-detik Soeharto Lengser Panggil 9 Tokoh Islam

5 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Soeharto, dua hari menjelang pernyataan mundurnya, mengundang sembilan tokoh agama Islam untuk mendengar pandangan mereka satu per satu pada Selasa, 19 Mei 1998. Kala itu, Soeharto masih enggan hengkang dari jabatan kepala negara. Kendati, desakan Soeharto lengser dari mahasiswa dan aktivis reformasi supaya undur diri makin menguat.

Puncak desakan itu terjadi sehari sebelumnya, pada Senin, 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR RI menuntut reformasi. Dalam peristiwa itu, Ketua DPR/MPR RI saat itu, Harmoko, menyatakan Soeharto harus mundur. Namun, pernyataan itu dibantah Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI Jenderal Wiranto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Disadur dari Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003) oleh Muhammad Hisyam, kala itu, Indonesia bergejolak buntut krisis ekonomi. Di sisi lain, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah juga anjlok. Berbagai demonstrasi yang digelar sejak awal 1998, mulanya fokus pada tuntutan ekonomi, hingga akhirnya memuncak pada Mei, meminta Soeharto mundur.

Gejolak kian memanas setelah aparat menindak represif terhadap pengunjuk rasa. Salah satunya peristiwa tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat ditembak aparat pada 12 Mei: Elang Mulia, Heri Hartanto, Hendriawan, dan Afidin Alifidin Royan. Tragedi Trisakti itu menjadi awal pecahnya kerusuhan antara 13 hingga 15 Mei.

Kerusuhan itu disebut sebagai bentuk solidaritas karena gugurnya pahlawan reformasi akibat kebrutalan aparat keamanan. Massa mengamuk, merusak dan membakar bangunan-bangunan tempat niaga, kantor-kantor, mall, supermarket, bank dan kendaraan bermotor. Orang-orang menjarah barang-barang dari toko-toko yang kebanyakan milik orang Cina.

Disadur dari publikasi Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto Tahun 1998 oleh Lilik Eka Aprilia dkk, saat kerusuhan besar terjadi, Soeharto sedang di Kairo, Mesir menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi kelompok G15 ke-8, forum kerjasama antar negara berkembang. Mendengar keadaan Tanah Air yang tidak menentu, Soeharto mempersingkat kunjungannya.

Soeharto dijadwalkan pulang pada 16 Mei 1998 tetapi memutuskan kembali ke Indonesia pada 15 Mei 1998. Sepulang dari Kairo, ia mengadakan pertemuan dengan pembantu-pembantunya. Pemerintah lalu memutuskan untuk menurunkan harga BBM pada keesokan harinya. Soeharto juga berjanji melakukan reformasi di segala bidang, termasuk reshuflle Kabinet Pembangunan VII.

Menurut Hisyam, kembalinya Soeharto tidak serta-merta meredakan gejolak. Antara 18 hingga 20 Mei, terjadi sejumlah perkembangan yang amat menentukan kedudukan Soeharto. Di satu pihak, penentang Soeharto melakukan tekanan melalui demonstrasi di gedung parlemen, dan di lain pihak pendukung Soeharto mulai berpihak pada demonstran.

Setelah gedung DPR/MPR RI diduduki mahasiswa, keesokan harinya Soeharto mengundang sembilan tokoh Islam untuk dimintai pendapat apakah dirinya lanjut menjabat atau mengundurkan diri sebagai presiden. Para tokoh tersebut di antaranya berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), hingga Muhammadiyah.

Mereka yakni:

1. Ketua Umum MUI KH Ali Yafie

2. Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur

3. Tokoh PBNU KH Ma’ruf Amin

4. Tohoh PBNU H Ahmad Bagja

5. Tokoh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) KH Cholil Baidlowi

6. Tokoh Muhammadiyah H Abdul Malik Fajar

7. Tokoh Muhammadiyah H Sutrisno Muhdam

8. Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid

9. Budayawan Emha Ainun Nadjib

Dilansir dari NU Online, pertemuan tersebut dilakukan mulai pukul 09.00 hingga 11.32 di Ruang Jepara, Istana Merdeka dan disiarkan langsung via televisi. Pertemuan direncanakan dilakukan selama 30 menit, tetapi molor hingga 2 jam lebih. Pasalnya, masing-masing tokoh diminta mengungkapkan pandangannya terhadap situasi terkini.

Dikutip NU Online dari Zastrouw (1999), ada tiga kompromi yang diputuskan. Pertama, Soeharto hendak membentuk Komite Reformasi untuk merampingkan sejumlah regulasi yang sesuai kehendak rakyat. Kedua, ia akan mempercepat pemilu dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden. Ketiga, merombak Kabinet Pembangunan VII dan mengganti namanya dengan Kabinet Reformasi.

Sementara itu, Greg Barton dalam Biografi Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menjelaskan bahwa Soeharto juga mengundang Gus Dur, namun ia tak hadir karena kesehatannya tengah menurun. Saat itu Nurcholish Madjid juga sempat mengusulkan Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais. Akan tetapi, Soeharto menolaknya dengan tegas.

Pertemuan tokoh-tokoh Muslim itu, menurut Greg, menandai gagalnya Soeharto memecah suara Muslim. Sebelumnya, Nurcholish alias Cak Nur bertemu dengan Amien di rumah Malik Fadjar untuk membicarakan pertemuan tersebut. Kesembilan orang ini membentuk suatu Front Bersatu. Semua menolak bergabung dengan Komite Reformasi yang dibentuk Soeharto.

“Anda harus mengakhiri masa kepresidenan Anda dengan anggun dan terhormat, bukan dengan cara Amerika Latin. Janganlah mengulang peristiwa 1965-1966,” kata Nurcholish dikutip Greg dari Schwartz.

Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) menceritakan, dalam pertemuan tersebut, Soeharto mengemukakan bahwa jabatan presiden bukan hal yang mutlak. Karenanya, Sang Jenderal Tersenyum itu mengaku tidak masalah jika harus mundur dari kursi kepresidenannya.

Namun, ia sendiri sangsi kemundurannya dapat membuat kondisi berangsur membaik. Ia justru khawatir penggantinya juga akan didemo sehingga ia masih bertekad menuntaskan tugasnya sampai benar-benar purna. Cak Nur, sebagaimana dikutip Habibie, menyampaikan, bahwa Soeharto berkelakar mengaku kapok menjadi presiden.

“Saya ini kapok jadi presiden. Soal mundur tidak menjadi masalah. Namun, yang penting bagaimana bisa mundur tapi konstitusi bisa dilaksanakan. Terus terang saja, tidak menjadi presiden, saya tidak akan pathek-en (penyakitan-pen). Kembali menjadi warga negara biasa, tidak kurang terhormat dari presiden asalkan memberi pengabdian kepada negara dan bangsa,” kata Soeharto, dikutip dari Zastrouw (1999).

Pada akhirnya, dua hari selepas pertemuan tersebut, pada 21 Mei 1998, Soeharto benar-benar melepas jabatannya yang selama tiga dekade dalam genggamannya. Terutama setelah 14 menterinya menyatakan menolak kembali terlibat dalam Kabinet Reformasi. Keputusan mundur tersebut menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya lembaran anyar era reformasi.

“Oleh karena itu, dengan memerhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memerhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI Terhitung sejak dibacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998,” kata Soeharto dalam pidato terakhirnya sebagai kepala negara.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |