Aktivis hingga Akademisi Buka Petisi Tolak Penulisan Ulang Sejarah, Ini Tautannya

1 day ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Akademisi, ahli, aktivis, dan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak penulisan ulang sejarah secara tunggal yang tengah digarap pemerintah. Penulisan ulang sejarah itu dinilai bisa membungkam kebenaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut AKSI, negara tidak berhak memberi tafsir tunggal atas sejarah. AKSI juga menilai sejarah harusnya memberi ruang setara bagi mereka yang dimarjinalkan di masyarakat. Penolakan AKSI ini juga telah disampaikan saat melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025.

“Pelanggaran berat HAM masa lalu harus terus diungkap kebenarannya, disuarakan, diingat; dan ‘sejarah resmi’ dapat digunakan menutupi dosa masa lalu, peristiwa yang kelam beresiko terulang kembali,” kata AKSI dalam keterangan yang diterima Tempo pada Senin, 2 Juni 2025.

Kelompok ini mendorong supaya sejarah harus ditulis secara terbuka dan berkeadilan. AKSI mengajak masyarakat untuk berpartisipasi melalui sebuah petisi yang bisa dibuka dalam tautan sebagai berikut:

https://www.amnesty.id/kerja-amnesty/kampanye/petisi-aksi/

AKSI mencakup puluhan tokoh termasuk mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, Direktur Lab4 Jaleswari Primowardhani, hingga Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Mantan Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Universitas Driyarkara Karlina Supelli, hingga pengajar filsafat Institut Kesenian Jakarta Martin Suryajaya juga mendukung gerakan ini.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut perdebatan soal penulisan ulang sejarah sebagai “pepesan kosong”. Menurut Fadli, bila ingin memperdebatkan isi buku revisi sejarah itu, masyarakat perlu menunggu sampai selesai. “Banyak yang diperdebatkan itu pepesan kosong yang tidak ada,” ucap Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Senin, 26 Mei 2025.

Kementerian Kebudayaan pun berencana melaksanakan uji publik naskah revisi sejarah tersebut. Fadli menyatakan uji publik itu akan dilakukan antara Juni atau Juli mendatang.  Hingga saat ini, ia mengatakan, progres penulisan jilid naskah ada yang mencapai 50 persen dan 70 persen. Bahkan ada pula yang sudah 100 persen rampung.  

Arkeolog Harry Truman Simanjuntak menyoroti penggunaan istilah 'sejarah resmi' dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang digarap oleh Kementerian Kebudayaan. Istilah itu berisiko diintervensi dan mengaburkan independensi akademik dalam penyusunan narasi sejarah.

"Yang paling tahu sejarah itu akademisi, dalam hal ini para sejarawan dan ilmu terkait. Jadi mengapa negara membuat ‘sejarah resmi’ yang rawan diarahkan mengikuti selera?” ujarnya ketika dihubungi Tempo pada Senin, 26 Mei 2025.

Menurut Truman, pemerintah semestinya menyerahkan proses penulisan ulang sejarah sepenuhnya kepada organisasi profesi ilmiah, termasuk Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Ketua Pusat Prasejarah dan Studi Austronesia Indonesia ini mengatakan dukungan pemerintah seharusnya hanya sampai memfasilitasi pekerjaan penulis dan editor, seperti dalam proyek penulisan buku sejarah sebelumnya.

Defara Dhanya dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |