YLBHI Desak DPR Panggil Kapolri Soal Kekerasan Aparat terhadap Massa Aksi Penolak RUU TNI

1 week ago 9

TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mendesak DPR memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo guna dimintai keterangan atas masifnya kekerasan terhadap massa aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) pada 15-28 Maret 2025 lalu. Seruan itu disampaikan Ketua Bidang Advokasi YLBHI Zainal Arifin dalam konferensi pers bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) di kantor Kontras, Kamis, 10 April 2025.

Menurut Zainal, kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga negara dalam aksi unjuk rasa menolak RUU TNI itu sudah melampaui batas kewenangan dan prinsip demokrasi. Dia juga mengatakan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat yang menyuarakan aspirasi juga tak sekali dua kali terjadi, melainkan tindakan yang terus berulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dengan jumlah korban yang mencapai ratusan di berbagai wilayah, seharusnya hari ini Kapolri diundang oleh DPR, dong. Untuk memastikan kenapa kemudian hak konstitusional yang tercantum secara jelas dan menjadi hal yang dasar dalam demokrasi itu bisa dinodai dan aparat bisa melakukan (kekerasan) sedemikian rupa terhadap warga negara,” ujar Zainal.

YLBHI bersama 18 kantor LBH di seluruh Indonesia mencatat telah terjadi kekerasan aparat di 72 titik lokasi selama gelombang aksi penolakan RUU TNI berlangsung. Ia menilai, absennya respons dari DPR justru memperlihatkan krisis fungsi pengawasan lembaga legislatif terhadap aparat penegak hukum.

“Jangan-jangan ini bagian dari skenario mempertahankan status quo lewat kekerasan. Karena kalau tidak, kenapa parlemen diam saja saat rakyat dipukuli secara masif?” kata Zainal.

Ia juga menyinggung urgensi reformasi kelembagaan di tubuh Polri yang lebih mendasar. Menurutnya, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja tak cukup untuk mencegah aparat bertindak sewenang-wenang.

“Selama polisi masih bisa menggeledah, menangkap, dan memukul warga sesuka hati tanpa mekanisme kontrol, maka kita perlu bicara lebih jauh: bukan hanya reformasi Polri, tapi pembenahan total sistem hukum dan demokrasi,” ucap dia.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Divisi Hukum Kontras Muhammad Yahya Ihyaroza menyebut sebagian besar korban kekerasan adalah mahasiswa. Data Kontras menunjukkan 15 mahasiswa mengalami luka-luka dan 8 lainnya ditahan dalam aksi pada 15–24 Maret 2025.

Yahya juga menyinggung kehadiran personel gabungan dari Polri, TNI, dan unsur Pemda DKI yang dikerahkan dalam pengamanan aksi, khususnya di Jakarta. “Kami mencatat ada sekitar 5.021 personel gabungan di sidang paripurna 20 Maret. Aktor dominan kekerasan yang kami identifikasi berasal dari institusi kepolisian dan militer, bahkan ada dari Pemda DKI,” kata dia.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |