TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menanggapi kekhawatiran warganet soal sertifikat tanah elektronik rawan disalahgunakan. Menurut Nusron, digitalisasi sertifikat tanah justri untuk memproteksi akta. “Misalnya kemarin waktu ada banjir, dengan adanya digital kan aman jadinya. Itu contohnya gitu, lho,” kata Nusron saat ditemui di Jakarta Barat, Senin, 31 Maret 2025.
Selain itu, Nusron menilai sertifikat konvensional atau fisik justru lebih rentan dipalsukan mafia tanah yang bekerja sama dengan pegawai pemerintah. Dia juga menyebut orang-orang yang tidak setuju dengan digitalisasi ini adalah orang yang anti-transfomasi. “Inginnya Indonesia tetap seperti jadul kayak dulu. Gampang diakalin,” ucapnya. “Kayak dulu, waktu mau daftar ke rumah sakit, ketika masih jadul kan pakai orang dalam, cepat jadinya. Tapi dengan adanya digitalisasi kan enggak mungkin, siapa cepat dia yang duluan masuk,” ucap Nusron memberikan perumpamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, Nusron juga menyebut sertifikat analog lebih rentan dipalsukan dan diambil orang lain karena bentuk peta kadastralnya tidak jelas, khusunya tanah yang berada di wilayah Jabodetabek. Alasannya, mayoritas pemilik tanah di wilayah itu tidak mengetahui riwayat tanahnya.
Hal ini berbeda dengan orang yang berada di kawasan perkampungan. Sehingga, kata Nusron, akan mudah bagi orang lain untuk mengeklaim kepemilikan tanah tersebut. “Karena itu kalau di kawasan Jabodetabek, rentan diambil orang dan kemudian tumpuk.Tumpang tindih jadinya,” ujar dia.
Nusron mengeklaim pihaknya sudah memiliki sistem keamanan yang tinggi, sehingga masyarakat tak pelru khawatir soal adanya kebocoran data. “Semua sistem sudah ada firewall system-nya. Termasuk terhadap cyber attack, sudah pasti ada," katanya.
Nusron kemudian mengatakan tidak bisa banyak berbicara soal hal tersebut. “Saya enggak bisa cerita soal itu, karena masing-masing kan enggak boleh menceritakan apa yang ada dalam. Takut nanti orang lain malah menyerang.”
Nusron menargetkan digitalisasi sertifikat itu rampung dalam kurun waktu 5 tahun, dan mencapai 50 persen dari total 124 juta sertifikat di tahun ini. Adapun ketentuan terkait digitalisasi sertifikat tanah itu ermaktub dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI No 1/2021.
Meski sudah diteken sejak hampir 4 tahun lalu, hingga kini masih banyak masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Mereka menilai dengan lemahnya keamanan data yang dimiliki oleh pemerintah, digitalisasi sertifikat justru berpotensi menjadi lahan penipuan baru, dan yang terburuk bisa bernasib sama dengan program e-KTP. “Kalo yang ini saya kurang setuju, karena dalam bentuk fisik bisa kurang akurat, apalagi dalam bentuk online. Karena bisa jadi banyak intimidasi dari para hacker yang ingin berbuat jahat,” salah satu komentar dari akun Instagram @Adi Sury*** pada 23 Maret lalu.
“Kalau kena hack, bisa diambil orang tuh punya kita,” ucap @dkna0** dalam laman yang sama.
“Data pribadi aja bisa bocor dan diperjualbelikan, apalagi ini,” tulis akun lainnya @wifeb**.