TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp 104,2 triliun per Maret 2025. Jumlah ini setara dengan 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam paparannya Sri Mulyani di acara Sarasehan Ekonomi, defisit ini berasal dari pendapatan negara sebesar Rp 516,1 triliun atau setara 17,2 persen dari target Rp 3.005,1 triliun serta belanja negara sebesar Rp 620,3 triliun atau setara 17,1 persen dari target Rp 3.621,3 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati demikian, eks Managing Director Bank Dunia ini menilai postur APBN sampai dengan akhir Maret sudah dalam situasi membaik. Pasalnya, penerimaan pajak bruto mengalami tren positif 9,1 persen pada Maret 2025, dari yang sebelumnya negatif 4 persen pada Februari 2025.
APBN, kata Sri Mulyani, juga didesain dengan defisit 2,53 persen, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 64 tahun 2024 yang sudah disetujui DPR. “Defisit 2,53 persen itu artinya defisit Rp 616 triliun,” katanya di Jakarta pada Selasa, 8 April 2025, dikutip dari siaran YouTube Sekretariat Presiden.
Adapun pendapatan negara sebagian besar bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 400,1 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp 322,6 triliun serta peneriman kepabeanan dan cukai sebesar Rp 77,5 triliun.
Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 115,9 triliun. Sedangkan belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 413,2 dan transfer ke daerah sebesar Rp 207,1 triliun
Sri Mulyani mengklaim belanja pemerintah masih on track, meskipun ada banyak program pemerintah yang harus dibiayai. Program-program itu di antaranya adalah makan bergizi gratis, ketahanan pangan, serta ketahanan energi.
“Jadi jangan khawatir jebol APBN-nya. Banyak yang mengatakan apakah APBN jebol? Tidak. Program-program Bapak Presiden ada di dalam ruang APBN yang ada,” kata Sri Mulyani.
4 Langkah Deregulasi
Sebelumnya, di dalam acara yang sama, Sri Mulyani membeberkan empat langkah deregulasi di bidang pajak dan kepabeanan untuk memangkas beban tarif yang dirasakan pelaku usaha hingga 14 persen. Hal ini diambil menyusul keputusan pemerintahan Donald Trump yang menetapkan tarif impor terhadap produk Indonesia menjadi 32 persen.
Pertama, Pemerintah Indonesia akan memangkas beban 2 persen yang berasal dari reformasi administrasi perpajakan dan bea cukai. Dengan langkah penyederhanaan administrasi, beban tarif dapat ditekan menjadi 30 persen.
Kedua, pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor dari yang sebelumnya 2,5 persen menjadi hanya 0,5 persen. Hal ini diklaim dapat memangkas beban tarif tambahan sebesar 2 persen sehingga membuat total beban tarif turun menjadi sekitar 28 persen.
Ketiga, penyesuaian tarif bea masuk produk impor yang berasal dari AS dan masuk kategori most favored nation (MFN). Tarif yang semula dikenakan sebesar 5 persen hingga 10 persen, akan diturunkan menjadi 0 persen sampai 5 persen.
Keempat, penyesuaian terhadap tarif bea keluar untuk komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), yang diklaim ekuivalen menurunkan beban pengusaha sebesar 5 persen.
Dengan begitu, total pengurangan beban dari empat langkah tersebut mencapai 14 persen dan beban tarif akibat kebijakan Trump tinggal 18 persen.