Seri Jet Lag: Lebih Baik Tidur atau Terjaga Selama Penerbangan?

1 day ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu hal yang paling sering dikhawatirkan saat melakukan perjalanan jauh dengan pesawat adalah jet lag. Kondisi ini bisa sangat mengganggu karena membuat tubuh terasa lelah hingga tidak fokus dalam berbagai hal.

Jet lag sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pengaturan waktu tidur—baik sebelum penerbangan maupun selama berada di dalam pesawat. Lalu, mana yang sebenarnya lebih baik: tidur atau tetap terjaga selama penerbangan?

Ketika memiliki hobi bepergian terutama dengan tujuan yang jauh, tentu pesawat terbang menjadi pilihan yang sangat tepat. Namun jet lag sering kali menjadi kendala. Sulit rasanya merasa antusias menjelajahi destinasi liburan ketika tubuh masih terasa lesu dan suasana hati terganggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut laman Cleveland Clinic, jet lag adalah kondisi umum yang menggambarkan gangguan tidur—seperti insomnia—dan gejala lain yang sering muncul setelah melakukan perjalanan jarak jauh dalam waktu singkat. Saat seseorang terbang melintasi lebih dari tiga zona waktu, “jam biologis” tubuh (atau ritme sirkadian) membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan siklus tidur dan bangun yang baru di tempat tujuan.

Merujuk pada laman CNA, jet lag bukan hanya disebabkan oleh pergeseran ritme sirkadian akibat perbedaan zona waktu, tetapi juga karena waktu tidur yang biasanya dimiliki bisa terganggu—misalnya karena harus bangun sangat pagi untuk mengejar penerbangan dini hari. Atau mungkin, orang yang mengalaminya juga kesulitan tidur selama penerbangan meskipun telah mempersiapkan segala perlengkapan mulai dari bantal leher, headphone peredam suara, hingga suplemen melatonin.

Fenomena tersebut akhirnya menjadi perhatian para peneliti yang kini berupaya memahaminya lebih jauh melalui data yang dikumpulkan dari perangkat pelacak tidur wearable. Salah satu studi komprehensif mengenai hal tersebut dilakukan pada 2025, yang merupakan kolaborasi antara Centre for Sleep and Cognition di NUS Yong Loo Lin School of Medicine dengan Oura dan dipublikasikan dalam jurnal Sleep pada  Maret tahun ini. 

Penelitian tersebut menganalisis 60.000 perjalanan dan 1,5 juta malam data anonim yang dikumpulkan dari Oura Ring. Ini menjadi studi skala besar pertama yang mengamati proses pemulihan jet lag dalam kondisi nyata di dunia sehari-hari. Salah satu penjelasan temuan studi ini yaitu mengenai penerbangan malam—yang tidak jarang disebut red eye flight—ternyata memang lebih mengganggu pola tidur dibandingkan penerbangan di siang hari.

Selain itu, tubuh cenderung membutuhkan waktu tidur pemulihan yang lebih panjang pada malam berikutnya, terutama setelah melakukan penerbangan dari malam hingga pagi hari. Adapun hal yang terparah dalam  mengacaukan ritme tubuh menurut studi tersebut ialah perjalanan ke arah timur dan melintasi banyak zona waktu.

Faktanya, jet lag cenderung terasa lebih berat pada perjalanan singkat ke arah timur yang melibatkan lebih dari tiga zona waktu. Bukan berarti perjalanan yang lebih jauh akan terasa lebih mudah—baik ke arah timur maupun barat, studi menunjukkan bahwa waktu tidur bisa bergeser 60 hingga 70 menit lebih awal atau lebih lambat dari biasanya.

Dalam hal pemulihan tidur, studi ini menemukan bahwa untuk beberapa orang, butuh waktu lebih dari satu minggu untuk mengembalikan pola dan struktur tidur ke kondisi normal—misalnya, kecenderungan terbangun di tengah malam. Kendati demikian, kabar baiknya adalah durasi tidur biasanya kembali ke kondisi normal dalam waktu sekitar dua hari. Namun, perubahan dalam hal waktu tidur dan struktur tidurnya bisa memerlukan waktu lebih dari seminggu untuk benar-benar pulih.

Menurut hasil penelitian, faktor jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh terhadap gangguan tidur akibat perjalanan. Peneliti utama studi ini, Dr. Adrian Willoughby, seorang peneliti senior di NUS Medicine, memberikan dua penjelasan terkait hal ini.

“Pertama, dampak perjalanan lintas zona waktu—terutama yang menempuh jarak jauh—kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan pengaruh hormonal terhadap tidur pada perempuan,” ujarnya.

“Dan kedua, baik pria maupun wanita sama-sama menghadapi tekanan ritme sirkadian yang serupa saat bepergian, sehingga tidak mengherankan jika keduanya terdampak dengan cara yang hampir sama.”

Selain itu, analisis dalam studi ini justru menemukan bahwa kelompok usia yang lebih tua cenderung mengalami dampak jet lag yang sedikit lebih ringan dibandingkan dengan yang lebih muda. 

Dr. Willoughby menjelaskan bahwa, "Orang yang lebih tua umumnya memang memiliki durasi tidur yang lebih singkat dibandingkan orang yang lebih muda. Jadi, meskipun dampak gangguan tidur akibat perjalanan bisa dirasakan sama, pengurangan durasi tidur secara absolut cenderung lebih kecil pada orang yang lebih tua karena sejak awal mereka memang tidur lebih sedikit."

Alasan Terbang ke Arah Timur Menyebabkan Jet Lag yang Lebih Parah

Untuk diketahui, dalam bagian otak yang disebut hipotalamus, terdapat struktur kecil bernama suprachiasmatic nucleus (SCN). Inilah yang disebut sebagai "jam utama" tubuh—pengatur ritme sirkadian, yaitu sistem biologis yang mengendalikan berbagai fungsi seperti kapan pemilik tubuh akan bangun, merasa lapar, atau mengantuk, sebagaimana dijelaskan oleh Healthline.

SCN bekerja dengan dipandu oleh cahaya. Jadi, ketika mata  menangkap sinar matahari, SCN akan mengaktifkan sejumlah hormon, mengubah suhu tubuh, dan mengatur metabolisme untuk menjaga tubuh tetap terjaga dan waspada.

“Setiap orang memiliki jam biologis internal yang kira-kira selaras dengan siklus waktu 24 jam di luar,” jelas Adjunct Assistant Professor Sridhar. “Jet lag terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara jam biologis internal kita dengan waktu di luar.”

Saat seseorang melakukan perjalanan ke arah timur, tubuh perlu memajukan waktu tidur agar selaras dengan waktu tidur di tempat tujuan. Sebaliknya, ketika bepergian ke arah barat, tubuh perlu menunda waktu tidur.

Pilih Tidur atau Terjaga dalam Pesawat?

Menurut saran Mount Elizabeth Hospital, aturlah jam tangan mengikuti waktu di tempat tujuan, segera setelah masuk ke dalam pesawat. Ini disebut dapat membantu pikiran mulai beradaptasi dengan perubahan waktu.

Setelah itu, lakukan aktivitas sesuai dengan waktu di tempat tujuan. Jika saat tiba di sana waktu menunjukkan siang hari, ada baiknya untuk tetap terjaga selama penerbangan.

Namun jika akan tiba pada malam hari, usahakan untuk tidur di dalam pesawat—meskipun kondisi di luar jendela pesawat masih terang. Kurangi paparan cahaya dengan menggunakan penutup mata dan hoodie untuk membantu tubuh menyesuaikan ritme sirkadian dengan waktu malam di destinasi.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |