TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat ada 333 gigawatt (GW) potensi energi terbarukan (EBT) yang layak dan siap dikembangkan di Indonesia. Jumlah ini memang lebih kecil dari estimasi pemerintah yang mencapai 3.700 GW, namun lebih selektif dan realistis karena hanya mencakup lokasi yang dekat dengan jaringan serta gardu induk PLN.
“Potensi EBT ini lebih mudah untuk diintegrasikan ke sistem kelistrikan nasional. Lokasinya dekat dengan jaringan PLN, jadi secara teknis lebih siap dikembangkan dan masuk ke transmisi PLN” kata Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR Deon Arinaldo dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR, Senin, 5 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deon mengatakan IESR telah menyusun model analisis finansial seperti yang biasa digunakan dalam pengembangan proyek. Selain itu, kata dia, penghitungan proyek tersebut turut mempertimbangkan ketentuan pengadaan dan tarif dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022. “Dari hasil seleksi, potensi EBT tersebut bila dikembangkan memiliki internal rate of return (IRR) yang bervariasi, mulai dari 6,95 hingga lebih dari 20 persen,” katanya.
Potensi terbesar berasal dari energi angin, yakni mencapai 197 GW dengan IRR di atas 7 persen. Sementara itu, tenaga surya memiliki potensi 166 GW dan minihidro sekitar 0,7 GW. Untuk tenaga surya, dua indikator utama yang digunakan adalah besarnya potensi lokasi dan tingkat pengembalian investasi (return).
Deon mengatakan saat ini Pulau Jawa memiliki potensi EBT sebesar 13,6 GW, walaupun tidak sebesar seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hal itu ditopang oleh infrastruktur jaringan di Jawa lebih mumpuni sehingga pengembangan proyek EBT di wilayah ini tetap menarik.
Data IESR menunjukkan bahwa potensi dengan IRR di atas 10 persen tersebar luas, seperti di Sumatera (7–11 GW), Kalimantan (16,6 GW), Sulawesi (11 GW), Nusa Tenggara (5 GW), dan Papua (hampir 2 GW). “Sayangnya, di Jawa belum ditemukan lokasi dengan IRR di atas 12 persen,” ujarnya.
Adapun untuk potensi energi angin lebih banyak ditemukan di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, dengan IRR di atas 10 persen. “Kawasan industri yang berkembang di Sulawesi dapat menjadi target pemanfaatan karena bisa menyambungkan potensi pasokan EBT langsung ke kebutuhan industri,” kata Deon.
Sedangkan untuk potensi minihidro didominasi berada di Sumatera dan sebagian kecil di Sulawesi, dengan kapasitas masing-masing di bawah 10 MW. “Potensi ini dapat membantu sistem kelistrikan lokal karena lebih terdesentralisasi,” ujarnya
Deon menilai pemanfaatan potensi EBT sebesar 333 GW ini cukup mendesak, meski lebih kecil dari penghitungan pemerintah. Pasalnya, dia mengatakan potensi ini sudah layak secara teknis dan ekonomis. Angka ini juga lebih besar dari target dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang hanya menyasar sekitar 160 GW EBT hingga 2060.
Untuk mempercepat proses pengembangannya, IESR mengusulkan skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi atau power wheeling. Skema ini dinilai relevan karena persebaran industri kini tak hanya di Jawa, tapi juga mulai muncul klaster industri di luar Jawa. “Beberapa industri membutuhkan jaminan pasokan energi baru terbarukan yang nyata, bukan sekadar sertifikat,” kata Deon.
Di lain sisi, kata dia, saat ini Renewable Energy Certificate (REC) dari PLN belum cukup karena sifatnya hanya sebagai bukti digital. Sebab, kata Deon, industri menginginkan bukti suplai langsung dari pembangkit EBT.
REC merupakan bukti bahwa satu unit listrik—umumnya sebesar 1 megawatt-jam (MWh)—diproduksi dari sumber energi bersih seperti tenaga surya, angin, atau air. Sertifikat ini berfungsi untuk mengidentifikasi dan menelusuri asal energi terbarukan dalam sistem kelistrikan, serta memberikan validasi atas penggunaan energi ramah lingkungan.
Selain itu, Deon mengatakan kepastian suplai EBT dapat memperkuat keputusan investasi industri, khususnya yang menargetkan penggunaan 100 persen energi bersih pada 2030. Jika Indonesia tak mampu menyediakan opsi tersebut, industri bisa saja berinvestasi ke negara tetangga yang lebih siap.
Dalam jangka pendek, IESR mengembangkan konsep “Green Energy Service” yang sudah diinisiasi PLN. Dalam skema ini, ada kontrak tiga pihak antara pembangkit EBT, PLN, dan konsumen. Kontrak tersebut lebih mengikat dan menjamin kepastian pasokan. “PLN juga tetap memperoleh pendapatan dari skema ini melalui biaya power wheeling dan tarif tambahan untuk energi hijau,” ujarnya.
Untuk jangka panjang, IESR mengusulkan agar PLN tetap mengelola transmisi dan distribusi, namun dengan manajemen yang lebih transparan dan terpisah. Dalam skema ini, PLN bisa menetapkan kuota pembangkit untuk menjaga stabilitas sistem dan mempelajari dampak operasional secara bertahap.
Deon menekankan tiga manfaat utama dari penerapan power wheeling. Pertama, skema ini dapat mempercepat pengembangan EBT tanpa membebani anggaran negara. Kedua, power wheeling akan menarik investasi industri dan meningkatkan daya saing Indonesia dibanding negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
Ketiga, skema ini dapat menciptakan sumber pendapatan baru bagi PLN melalui biaya tambahan dan layanan energi hijau. “Lima tahun ke depan adalah masa kritis. Jika tidak dimanfaatkan, Indonesia bisa tertinggal dari negara tetangga yang sudah lebih dahulu menjalankan skema serupa,” ujarnya.