Oleh : Nurul Badruttamam; Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU dan Kepala Subdit Kemasjidan pada Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Ditjen Bimas Islam Kemenag
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA Menjelang Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober, bangsa Indonesia kembali diingatkan pada pentingnya menjaga martabat pesantren dan para kiai. Gelombang kekecewaan publik terhadap salah satu tayangan televisi nasional yang dianggap melecehkan pesantren dan kiai menjadi bukti bahwa masyarakat masih memiliki kepekaan yang tinggi terhadap nilai-nilai keagamaan.
Tagar #BoikotTrans7 yang ramai di media sosial bukan sekadar ekspresi kemarahan publik secara spontan, tetapi bentuk kegelisahan kolektif atas lunturnya adab dalam ruang publik. Di tengah kebebasan berekspresi, kita diingatkan bahwa ada batas moral dan kultural yang tak boleh dilanggar, batas antara hiburan dan penghinaan, antara kritik dan pelecehan.
Bagi umat Islam Indonesia, terutama kalangan Nahdliyyin, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi pusat peradaban. Dari pesantren, lahir generasi berilmu, berakhlak, dan mencintai tanah air. Dari pesantren pula lahir Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 tonggak perjuangan para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, memperlakukan pesantren dan kiai secara tidak hormat di ruang publik sama artinya dengan merendahkan sejarah dan peradaban bangsa itu sendiri. Kiai dan santri adalah penjaga moral bangsa. Mereka berjuang dengan ilmu, dengan doa, bukan ejekan. Maka, saat simbol-simbol itu dijadikan bahan kelakar, yang tersakiti bukan hanya umat Islam, tetapi juga rasa kebangsaan kita bersama. Sebab di balik kiai dan pesantren, tersimpan nilai-nilai universal tentang kejujuran, kesederhanaan, dan cinta tanah air.
Adab di Tengah Arus Digital
Kita hidup di era ketika segalanya bisa menjadi hiburan, bahkan hal yang sakral sekalipun. Di media sosial, potongan video bisa viral tanpa konteks, dan komentar bisa menyulut amarah publik dalam hitungan detik. Dalam kondisi seperti ini, menjaga adab menjadi tugas yang semakin berat, namun juga krusial.
Santri dan masyarakat pesantren harus tampil sebagai penyejuk di tengah hiruk pikuk digital. Kritik boleh, tapi harus beradab. Tegas, tapi tetap santun. Kita tidak menolak kebebasan, tetapi menolak kebebasan yang kehilangan tanggung jawab.
Maka kekuatan kita bukan di volume kemarahan, melainkan di kedalaman akhlak. Saat kita mampu menahan diri dan memilih dialog ketimbang hujatan, saat itulah kita menunjukkan kematangan spiritual sebagai umat beradab.
Media memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk persepsi publik. Namun kekuatan itu menuntut tanggung jawab moral. Kreativitas memang harus diberi ruang, tetapi tetap berpijak pada etika sosial dan rasa hormat. Sebab tidak ada kebebasan yang tanpa tanggung jawab, sebagaimana tidak ada humor yang pantas jika melukai martabat kemanusiaan.
Stasiun televisi dan para pekerja media perlu memahami sensitivitas masyarakat terhadap nilai-nilai keagamaan. Permintaan maaf tentu langkah baik, namun pembelajaran yang lebih penting adalah bagaimana ke depan tidak terjadi pengulangan. KPI dan lembaga penyiaran perlu memperkuat pedoman etik untuk melindungi simbol keagamaan dari komodifikasi hiburan.
Dalam banyak hal, dunia pesantren justru bisa menjadi mitra strategis media. Pesantren punya kekayaan cerita, tradisi, dan nilai yang bisa diangkat sebagai inspirasi, bukan olok-olok. Saat media dan pesantren bekerja sama dalam narasi kebaikan, bangsa ini akan tumbuh dengan lebih bijak.
Dari Pesantren untuk Peradaban
Insiden ini mestinya tidak disikapi semata dengan amarah, tetapi juga refleksi. Sudahkah kita, warga pesantren dan umat Islam, aktif menampilkan wajah positif pesantren di ruang publik? Sudahkah kita memanfaatkan media untuk memperkenalkan pesantren sebagai pusat keilmuan, inovasi, dan pemberdayaan masyarakat?
Santri masa kini harus hadir di semua lini, di ruang digital, ekonomi, pendidikan, hingga kebijakan publik. Mereka harus menjadi storyteller yang mampu mengangkat kisah inspiratif tentang kiai dan santri tentunya juga tentang dedikasi, pengabdian, dan peran sosial mereka dalam pembangunan bangsa. Inilah wujud dakwah bil hal yang paling kontekstual di era modern.
Di tengah program besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam membangun ketahanan nasional, kedaulatan pangan, dan ekonomi kerakyatan, santri memiliki peluang besar untuk berkontribusi. Nilai-nilai pesantren seperti gotong royong, kemandirian, dan keikhlasan sejalan dengan semangat pembangunan nasional. Santri bisa menjadi motor penggerak di sektor pertanian, UMKM, dan pendidikan moral publik.
Perjuangan santri tidak lagi di medan perang, tetapi di ladang pengabdian. Ia bisa hadir dari sawah hingga ruang digital, dari masjid hingga ruang birokrasi. Itulah wajah baru jihad santri untuk bekerja, berinovasi, dan berakhlak.
Ramainya seruan boikot terhadap stasiun televisi yang dianggap melecehkan pesantren harus dimaknai secara proporsional. Boikot bisa menjadi bentuk protes moral, namun jangan sampai berubah menjadi kebencian. Islam mengajarkan keseimbangan yakni tegas terhadap kebatilan, lembut terhadap sesama.
Al-‘afwu inda al-qudrah, memaafkan ketika mampu adalah kemuliaan sejati. Memaafkan bukan berarti membiarkan, tapi memilih jalan perbaikan yang lebih bermartabat. Dalam konteks ini, umat bisa tetap kritis sambil membuka ruang dialog. Jika media bersedia berbenah, maka masyarakat juga harus siap memberi kesempatan untuk memperbaiki.
Resolusi Adab di Hari Santri
Hari Santri Nasional tidak hanya memperingati sejarah perjuangan, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya adab dalam menjaga peradaban. Dulu, Resolusi Jihad melahirkan keberanian fisik melawan penjajahan. Hari ini, kita butuh Resolusi Adab, sebuah upaya tekad moral untuk menjaga kehormatan dalam tutur, dalam perilaku, dan dalam berkarya.
Bangsa besar tidak hanya ditandai oleh kemajuan teknologi, tetapi juga oleh keteduhan moral warganya. Santri, dengan warisan keilmuan dan spiritualitasnya, harus menjadi penjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara modernitas dan akhlak.
Menjelang peringatan Hari Santri, momentum ini seharusnya menjadi ajakan bagi kita semua untuk kembali meneguhkan nilai-nilai adab, hormat, dan kasih sayang di ruang publik. Jangan biarkan kebebasan berekspresi mengikis rasa takzim dan etika yang menjadi akar budaya bangsa. Dari pesantren, bangsa ini belajar arti kesederhanaan dan ketulusan. Dari kiai, kita belajar kebijaksanaan dan kesabaran. Dari santri, kita belajar tentang keteguhan iman dan cinta tanah air.
Mari isi setiap panggung, media, dan percakapan publik dengan narasi kebaikan. Jadikan santri bukan hanya simbol masa lalu, tetapi sumber inspirasi masa depan. Sebab dari santri, peradaban bangsa ini bermula dan kepada santri pula, masa depan bangsa ini kita titipkan.