Rektor Universitas Udayana Akan Hadiri Dialog Mahasiswa Soal Kerja Sama TNI

3 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta -- Rektor Universitas Udayana I Ketut Sudarsana menyatakan akan hadir dalam dialog terbuka bersama mahasiswa yang digelar pada Selasa, 8 April 2025. Forum ini diselenggarakan setelah adanya penolakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) terhadap kerja sama antara kampus dengan Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana. “Iya, rencananya saya dan pimpinan lainnya hadir,” ujar Sudarsana pada Senin, 7 April 2025.

Diskusi akan berlangsung di Gedung Widya Saba, Kampus Jimbaran, Kabupaten Badung, pukul 14.00 WITA. Acara ini difasilitasi oleh BEM Universitas Udayana yang sejak awal menolak keras kerja sama yang dianggap membuka ruang bagi militerisasi institusi pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penolakan itu mencuat setelah dokumen perjanjian kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Universitas Udayana dan Kodam IX/Udayana. Kerja sama itu ditandatangani pada 5 Maret 2025, dengan nomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025. Publik baru mengetahuinya lewat unggahan di akun Instagram resmi kampus pada 26 Maret 2025.

Ketua BEM Universitas Udayana I Wayan Arma Surya Darmaputra menyatakan, kekhawatiran dengan adanya kerja sama itu adalah dominasi militer dalam lingkungan akademik. “Kami menolak segala bentuk intervensi militer dalam kehidupan kampus. Pendidikan harus tetap netral dan bebas dari pengaruh sektoral,” kata Arma  pada 31 Maret 2025. Adapun I Ketut Sudarsana dalam pernyataan sebelumnya mengatakan, kolaborasi tersebut tidak dimaksudkan membawa praktik militer ke dalam kampus. 

Dalam kesempatan terpisah, peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie menilai, pelibatan TNI dalam sektor pendidikan tak memiliki dasar hukum yang jelas dalam Undang-Undang TNI. “Tugas TNI dibagi dalam dua kategori: Operasi Militer untuk Perang (OMUP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP),” ujar Ikhsan dalam keterangan tertulis, Senin, 7 April 2025. Ikhsan menjelaskan, dari ketentuan itu, sektor pendidikan tidak termasuk 14 atau bahkan 16 bentuk OMSP, baik sebelum maupun sesudah revisi Undang-Undang TNI.

Menurut peneliti yang fokus pada isu hak asasi dan keamanan, pelibatan TNI di luar fungsi pertahanan negara seharusnya dilakukan melalui regulasi yang lebih kuat, bukan sekadar Memorandum of Understanding (MoU) atau kerja sama antar lembaga. “Kalaupun ada relevansi pelibatan TNI dalam sektor pendidikan, seperti dalam penanggulangan bencana atau bela negara, mekanismenya harus melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Bukan MoU,” uajr Ikhsan. 

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |