Rapor, Orang Tua, dan Amanah Pendidikan

3 hours ago 1

Oleh : Syafrimen, Guru Besar Psikologi Pendidikan UIN Raden Intan Lampung

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap pembagian rapor selalu menjadi momen, menjadi ruang pertemuan antara harapan dan kegelisahan. Di tangan anak, rapor kerap dimaknai sebagai cermin harga diri, di benak sebagian orang tua disederhanakan menjadi deretan angka yang memenuhi ambisi.

Padahal, pendidikan yang memanusiakan seharusnya memandang rapor sebagai jejak proses, catatan tumbuh kembang manusia kecil dengan segala keunikan, keterbatasan, dan potensi yang Allah titipkan. Rapor bukan vonis, melainkan kompas, rapor juga bukan akhir, melainkan penanda arah perjalanan dari proses pembelajaran.

Meningkatnya keterlibatan orang tua, termasuk dorongan agar ayah hadir mengambil rapor, layak diapresiasi sebagai ikhtiar mengembalikan makna pendidikan sebagai amanah bersama. Pendidikan tidak berhenti di gerbang sekolah, ia hidup di rumah dan berdenyut di tengah masyarakat. Namun pertanyaan krusialnya bukan sekadar siapa yang datang, melainkan bagaimana kehadiran itu dihayati, apakah sebagai ruang dialog yang menguatkan, atau sekadar ritual yang menambah tekanan. Kehadiran yang bermakna adalah yang menumbuhkan harapan, bukan ketakutan.

Raport dan Psikologis Anak

Dalam perspektif Psikologi Pendidikan, kehadiran orang tua bukan sekadar pelengkap, melainkan pondasi untuk motivasi, kepercayaan diri, dan kesehatan mental anak. Teori attachment menegaskan bahwa anak yang tumbuh dengan dukungan emosional yang konsisten akan memiliki rasa aman dalam belajar. Ia lebih tangguh menghadapi kegagalan dan tetap rendah hati saat berhasil, karena yang ia rasakan bukan tekanan, melainkan penerimaan.

Sebaliknya, raport yang disambut dengan amarah, perbandingan, atau tuntutan berlebihan dapat menjadi luka psikologis yang tersembunyi. Nilai tinggi bisa menjauhkan anak dari kejujuran atas proses belajarnya, sementara nilai rendah dapat menggerus harga dirinya sebagai manusia, bukan sekadar sebagai siswa. Di titik ini, raport berubah dari alat refleksi menjadi sumber ketakutan.

Albert Bandura melalui teori sosial-kognitif menegaskan bahwa anak belajar terutama dari teladan. Ketika orang tua merespons raport dengan dialog, empati, dan refleksi, anak belajar mengelola emosi, menata tujuan, dan menumbuhkan keyakinan diri. Namun saat hasil dijadikan segalanya, anak pun belajar bahwa angka lebih berharga daripada usaha, kejujuran, dan proses pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran konstruktivisme memandang belajar sebagai proses aktif membangun pemahaman. Raport bukanlah garis akhir, melainkan titik jeda untuk merenung dan merancang langkah berikutnya. Di sinilah peran orang tua menjadi krusial, membantu anak membaca dirinya sendiri, bukan sekadar membaca angka.

Kerangka zone of proximal development (Vygotsky), memandang bahwa anak membutuhkan pendampingan yang tepat agar mampu melampaui batas kemampuannya saat ini. Orang tua yang terlibat secara sadar dapat menjadi scaffolding, penopang sementara, yang menguatkan anak hingga ia mampu berdiri sendiri.

Namun, pendampingan itu harus proporsional: membimbing tanpa mengekang, menuntun tanpa mengambil alih. Raport yang dikelola dengan bijak akan menumbuhkan motivasi intrinsik. Anak akan belajar bahwa kegagalan adalah bagian dari proses, dan keberhasilan adalah amanah yang harus dijaga dengan kerendahan hati.

Ilmu, Akhlak, dan Peran Orang Tua

Dalam khazanah pendidikan Islam, raport bukan sekadar dokumen angka, melainkan cermin akhlak dan kemanusiaan. Al-Ghazali mengingatkan bahwa puncak pendidikan bukanlah kecerdasan intelektual, tetapi lahirnya insan beradab. Ilmu yang tidak dituntun adab akan menjelma menjadi kesombongan, sementara adab tanpa ilmu hanya akan melahirkan ketertinggalan. Karena itu, evaluasi sejati adalah menilai sejauh mana pengetahuan membentuk karakter, bukan sekadar menumpuk prestasi.

Islam menempatkan orang tua sebagai pendidik pertama dan utama. Sekolah adalah mitra, bukan pengganti tanggung jawab keluarga. Kehadiran orang tua saat pengambilan raport seharusnya menjadi momentum muhasabah (refleksi), sejauh mana amanah pendidikan dijalankan, yang dibawa pulang seharusnya bukan hanya lembaran nilai, tetapi kesadaran mendalam bahwa mendidik anak adalah tugas berkelanjutan yang tidak boleh terputus oleh waktu dan rutinitas.

Ibnu Sina menegaskan bahwa pendidikan harus menyeimbangkan akal, jasmani, dan ruhani. Membaca raport secara bermakna berarti bertanya, apakah anak tumbuh jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan peduli, selain cerdas secara akademik? Pendidikan yang hanya melahirkan kecerdasan tanpa empati sejatinya telah kehilangan ruh, arah, dan makna.

Dari sudut pandang ekologi perkembangan (Bronfenbrenner), anak tumbuh dalam jejaring sistem yang saling memengaruhi. Rumah dan sekolah adalah dua lingkungan utama yang harus saling terhubung. Raport menjadi instrumen komunikasi resmi antara keduanya. Sayangnya, dalam praktik, komunikasi ini sering bersifat satu arah, sekolah memberi laporan, orang tua menerima.

Regulasi pendidikan di Indonesia secara tegas membuka ruang partisipasi orang tua. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menempatkan orang tua sebagai mitra dalam pendidikan anak. Berbagai kebijakan pendidikan juga mendorong peran komite sekolah dan keterlibatan keluarga dalam peningkatan mutu pembelajaran.

Ini menegaskan bahwa pendidikan berkualitas lahir dari kolaborasi, bukan dari kerja sepihak. Sekolah perlu memaknai momen pengambilan raport sebagai ruang dialog dan refleksi. Guru bukan hanya penyampaikan nilai, tetapi fasilitator pemahaman. Orang tua bukan sekadar penerima laporan, tetapi mitra strategis dalam merancang perkembangan anak ke depan.

Memanusiakan Momen Pengambilan Raport

Agar raport benar-benar memberi daya ubah, sekolah dan orang tua perlu merevisi cara memaknainya. Raport bukan palu penghakiman yang menentukan berhasil atau gagal, melainkan cermin perjalanan perkembangan anak. Ia merekam proses, bukan sekadar hasil. Karena itu, sekolah memikul tanggung jawab penting, membantu orang tua memahami bahasa penilaian sekaligus dinamika psikologis anak, agar respons yang lahir bersifat mendidik, bukan melukai.

Bagi orang tua, raport semestinya menjadi pintu dialog yang menenangkan, bukan ruang interogasi yang menegangkan. Melalui rapor anak diajak bercerita tentang pengalaman belajarnya, tentang upaya, kesulitan, dan harapan yang ia simpan. Dari percakapan yang jujur dan hangat itu akan tumbuh rasa aman, kepercayaan diri, serta motivasi intrinsik. Kedekatan emosional inilah bahan bakar sejati pembelajaran jangka panjang.

Kelak, angka-angka pelajaran mungkin memudar dari ingatan seorang anak, tetapi jejak emosional saat menerima rapor akan menetap lama dalam batinnya. Apakah ia pulang dengan rasa aman atau luka, itulah pendidikan yang sesungguhnya bekerja. Di titik ini, rapor seharusnya menjadi cermin refleksi, bukan alat menakut-nakuti, pemantik harapan, bukan sumber kecemasan.

Generasi berilmu tidak lahir dari tekanan, melainkan dari relasi yang memanusiakan. Pendidikan adalah amanah luhur, dan amanah itu hanya terjaga ketika rumah dan sekolah saling menguatkan, berjalan seiring dalam naungan kasih sayang yang mendidik, bukan menghakimi.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |