TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan pemerintah perlu merombak anggaran tengah tahun APBN untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi ihwal sekolah swasta gratis.
“Itu kan berarti harus perubahan anggaran tengah tahun kan. Itu berarti harus ada pembicaraan dengan Menteri Keuangan, termasuk dengan DPR,” kata Mu’ti usai menghadiri peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat, 2 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mu’ti mengatakan kementeriannya saat ini akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kementerian Keuangan dan menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto sebelum menindaklanjuti putusan MK.
“Yang kami pahami sebenarnya itu kan tidak menggratiskan semua pendidikan negeri dan swasta. Artinya swasta itu masih boleh memungut dengan syarat ketentuan tertentu,” kata dia.
Mu’ti mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Akan tetapi, kata dia, pemerintah harus berkoordinasi lintas kementerian untuk memastikan anggaran cukup. “Baru nanti kita menyusun skema kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk melaksanakan putusan MK ini,” katanya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang menuntut sekolah gratis untuk negeri maupun swasta. Mahkamah mewajibkan pemerintah memberikan pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis di sekolah negeri maupun swasta.
JPPI dan tiga pemohon atas nama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum menguji Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pemohon meminta MK memutuskan agar wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya. Perkara ini didaftarkan dengan Nomor Perkara 3/PUU-XXII/2024.
Perkara ini disidangkan oleh delapan Hakim Konstitusi, yakni Suhartoyo sebagai ketua merangkap anggota, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, M. Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; dan menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo saat membacakan amar putusan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025.
Mahkamah memerintahkan pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar secara penuh sesuai Pasal 31 ayat (2) UUD 1945.
“Tanpa ada pemenuhan kewajiban pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar, maka berpotensi menghambat upaya warga negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya,” kata Guntur.
Guntur juga mengatakan bahwa selama ini pembiayaan wajib belajar hanya difokuskan pada sekolah negeri. Padahal, kata dia, secara faktual banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, seperti sekolah swasta atau madrasah swasta.
Mahkamah juga menilai masih ada sekolah atau madrasah swasta yang selama ini menerima bantuan anggaran dari pemerintah seperti program BOS atau program beasiswa lainnya, namun tetap mengenakan atau memungut biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah masing-masing dari peserta didik. Di samping itu, terdapat pula sekolah swasta yang tidak bersedia menerima bantuan anggaran dari pemerintah.
Namun Mahkamah tidak bisa melarang sekolah swasta memungut biaya pendidikan dari peserta didik sama sekali. Di sisi lain kemampuan fiskal pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi sekolah atau madrasah swasta masih terbatas sampai saat ini.