Amerika, Janji Kosong Sidang Umum PBB, dan Logika Al-Farabi

2 hours ago 3

Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa beberapa waktu lalu kembali menyita perhatian dunia. Sebanyak 142 negara berdiri di pihak Palestina, menyatakan dukungan atas implementasi solusi dua negara.

Angka itu luar biasa besar, sebuah mayoritas mutlak yang merefleksikan kesepahaman global bahwa rakyat Palestina berhak merdeka.

Namun di balik angka yang tampak menjanjikan itu, skeptisisme segera bermunculan. Banyak pihak bertanya: bukankah ini hanya akan menjadi catatan manis dalam sejarah diplomasi internasional, tanpa perubahan nyata di tanah yang setiap harinya dibasahi darah dan air mata?

Skeptisisme tersebut bukanlah sikap sinis, melainkan pelajaran dari sejarah panjang resolusi PBB. Semua keputusan yang lahir dari Majelis Umum tidak bersifat mengikat. Ia hanya suara moral dunia, tetapi tanpa taring hukum.

Sementara itu, keputusan yang benar-benar bisa memaksa sebuah negara hanya bisa keluar dari Dewan Keamanan. Di sinilah letak kebuntuan yaitu setiap kali ada rancangan resolusi yang menuntut Israel mengakhiri pendudukan atau menghentikan ekspansi pemukiman, Amerika Serikat hampir selalu turun tangan dengan hak vetonya.

Karena itu, suara 142 negara, betapapun indah, pada akhirnya hanya bergema di ruang sidang tanpa menjelma menjadi realitas di lapangan.

Lebih jauh, deklarasi Majelis Umum juga menyebut dua aktor kunci yang dianggap sebagai penghalang yaitu Hamas dan Israel.

Keduanya diminta melakukan langkah yang secara politik hampir mustahil. Hamas dituntut menyerahkan senjata dan kekuasaan di Gaza kepada Otoritas Palestina, sementara Israel diminta menerima perbatasan 1967 dan menghentikan pembangunan pemukiman.

Jika dibandingkan, hambatan dari Hamas sesungguhnya relatif kecil. Sebagai kelompok yang bergantung pada bantuan para pendonor, mereka bisa ditekan untuk menyesuaikan diri, meskipun dengan keterpaksaan.

Bahkan, seperti ditegaskan Sekjen PBB António Guterres, perlawanan bersenjata Hamas dan faksi-faksi Palestina lain tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari penjajahan dan penindasan Israel yang terus berlangsung. Jika sebab itu dicabut, logika perlawanan pun akan kehilangan dasarnya.

Sebaliknya, Israel adalah persoalan lain sama sekali. Dengan kekuatan militer yang canggih, sokongan ekonomi yang nyaris tak terbatas, serta dukungan politik penuh dari sekutu-sekutunya seperti Amerika, Inggris, dan Jerman, Israel justru menunjukkan ambisi zero sum game: menguasai seluruh tanah Palestina tanpa ruang untuk kompromi.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |