REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Ariana Satria menyayangkan sikap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang membatalkan kenaikan cukai hasil tembakau 2026. Ariana menyebut, keputusan Purbaya kontradiktif dengan upaya pemerintah mengurangi tingkat prevalensi rokok di Indonesia.
"Konsumsi rokok ini sangat tinggi, 70 persen laki-laki di Indonesia adalah perokok. Jumlah perokok anak dan remaja pun terus meningkat," ujar Ariana dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/9/2025).
Ariana menyampaikan, tingginya tingkat prevalensi rokok juga membebani keuangan negara. Terlebih, Menkeu Purbaya memutuskan tidak menaikan CHT untuk 2026.
"Cukai itu dikenakan demi keadilan, bukan sumbangan para perokok. Jadi para perokok itu bukan pahlawan, karena ternyata kalau dari hitungan-hitungan, maka sebetulnya beban yang ditangani negara dan publik itu lebih besar daripada cukai yang diperoleh," ucap Ariana.
Dia menyampaikan, kebiasaan merokok kian memperparah kondisi keluarga prasejahtera dan kelompok rentan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ucap dia, rokok menjadi konsumsi kedua terbanyak keluarga rentan atau yang mendapat bantuan langsung tunai.
"Riset dari PKJS juga menunjukkan keluarga yang merokok punya probabilitas untuk semakin miskin sebesar enam persen," ujar Ariana.
Tak hanya itu, menurut Ariana, kebiasaan merokok juga mengancam kalangan menengah turun kelas menjadi kelompok rentan. Ariana menyoroti kemudahan hingga harga rokok yang sangat terjangkau sebagai penyebab tingginya jumlah perokok di Indonesia.
"Harga rokok di Indonesia ini masih murah, sudah murah bisa dibeli eceran nanti. Ini hal ini yang mengkhawatirkan," kata Ariana menegaskan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Ariana menyampaikan, harga CHT tidak mengalami kenaikan pada 2014, 2019, dan 2025. Sedangkan rata-rata kenaikan pada 2020 hingga 2024 tercatat sebesar 23 persen. "Jadi kita bisa melihat walaupun (CHT) 2020 naik, tapi ternyata tingkat produksi rokok tetap naik juga," ucap Ariana.
Dia menepis anggapan kenaikan CHT berdampak terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) industri rokok dan menyengsarakan para petani tembakau lokal. Ariana menyebut, para petani tembakau mampu mendiversifikasi tanaman selain tembakau.
Ariana justru menyoroti ketidakseriusan industri rokok dalam meningkatkan kesejahteraan petani tembakau. Dia menuding, produsen rokok tidak menunjukkan niat baiknya untuk meningkatkan harga beli dari tembakau.
"Pada 2025 ini tidak terjadi kenaikan cukai hasil tembakau, tapi ternyata PHK sering terjadi di mana-mana," ucap Ariana.
Menurut Ariana, kondisi PHK pekerja rokok disebabkan mekanisasi perubahan kebijakan perusahaan, misalnya juga jumlah mesin linting yang secara otomasi dan peningkatan jumlah impor. Dia menambahkan, kepemilikan pabrik-pabrik rokok pun mayoritas dikuasai asing.
"Jadi profitnya itu tidak main ke nasional, tetapi ke tetangga-tetangga pemilik pabrik rokok di Indonesia," kata Ariana.
Muhammad Nursyamsyi

2 months ago
26


































