REPUBLIKA.CO.ID, ACEH TIMUR -- Tiba di Desa Batu Bedulang, desa perbatasan antara Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur, lima perempuan relawan medis bergegas turun dari ambulan menyambut uluran tangan para penyintas di tenda darurat dekat jalur penyeberangan. Para relawan akan melanjutkan perjalanan mengarungi sungai menuju desa yang sempat terisolasi dan masih minim layanan kesehatan akibat banjir bandang.
Kelima relawan perempuan dari Jawa Barat itu terdiri dari Drg Wita Darmawanti, Dr Rizki Febrina, Dr Aisyiyah Tanjung, Norma Wahyunita sebagai apoteker, perawat Setia Rahman dan guru Imoh Khotimah.
Mereka berangkat dari Posko Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) di wilayah Desa Sidodadi, Aceh Tamiang dengan waktu tempuh 4 jam jalur darat berlumpur dan 30 menit jalur sungai menuju Desa Batu Sumbang, Aceh Timur.
Sampan yang ditumpangi para relawan hanya muat ditumpangi maksimal 9 orang, karena rute ke desa tujuan berada di dekat hulu sungai Aceh Tamiang dan harus melawan arus.
Perjalanan yang dilalui tidak mudah, jalur sungai adalah satu-satunya jalur yang bisa dilalui untuk distribusi bantuan dan layanan kesehatan selain lewat jalur udara. Sementara jalur darat menuju Desa Batu Sumbang masih ditutupi lumpur.
Menurut penjaga posko di perbatasan, Muhammad Restu, Desa Batu Sumbang wilayah Aceh Timur belum pernah mendapatkan pelayanan kesehatan. "Disana minim akses, bantuan cuma sampai di sekitar Babo (Desa Babo berjarak satu jam dari desa perbatasan Batu Bedulang)" kata Restu.
Sesampainya di Desa Batu Sumbang, relawan medis disambut hangat oleh warga yang sudah menanti di rumah Bidan Ratnawati. Puluhan warga dan anak-anak yang ditinggali Suku Gayo itu berdatangan. Kehadiran relawan bagi mereka seperti menemukan kembali cahaya setelah berhari-hari diterpa badai. "Baru ada dokter kesini,” ujar Kartini.
Relawan medis segera menyiapkan perlengkapan pemeriksaan dan menata obat-obatan. Meja pendaftaran disertai alat ukur tensi dijaga perawat Setia Rahmani. Setelah itu, satu persatu pasien penyintas banjir dilayani dengan sigap oleh para relawan dokter. Berbagai macam keluhan disampaikan mulai dari gatal-gatal, batuk pilek, sesak nafas hingga masalah finansial. "Kami ga punya uang, kebun kami sudah habis semua,” ujar salah seorang pasien.
Di samping rumah bidan, Imoh Khotimah sibuk bermain dengan anak-anak penyintas banjir, mereka berlompat, saling genggam membentuk lingkaran hingga berbagi hadiah. Disana terpancar senyum penuh harap untuk pulih dan bangkit.
Salah satu warga mengeluhkan kondisi suaminya terbaring dirumah, dan tidak bisa datang ke posko kesehatan lantaran mengalami pembengkakan dan infeksi pada kakinya. Dokter Wita dan dokter Rizki bergegas membawa perlengkapan medis dan obat-obatan menyambangi rumah warga itu untuk memeriksa kondisi kesehatannya.
Setelah semua sudah terlayani, langit biru berganti abu, air sungai mulai pasang. Para relawan medis melambaikan tangan penuh harap kepada para penyintas, sambil berpamitan, pelukan terkahir dari seorang nenek meluruhkan semua rasa lelah para relawan. "Semoga ibu, bapak dan adik-adik sehat selalu ya, dan kondisinya segera membaik,” tutup dokter Rizki sambil berjalan menjauh dari kerumunan warga.
sumber : Republika

2 hours ago
1













































