Masjid Berdaya, Santri Berkarya

9 hours ago 4

Oleh : Nurul Badruttamam, Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU; Kasubdit Kemasjidan pada Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Ditjen Bimas Islam, Kementerian Agama 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Santri adalah simbol kesetiaan pada ilmu, keikhlasan dalam pengabdian, dan keteguhan dalam menjaga nilai. Setiap kali kita memperingati Hari Santri, kita tidak sekadar mengenang perjuangan santri di masa lalu, tetapi menegaskan kembali makna kehadiran santri dalam perjalanan bangsa. Tahun ini, tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia” mengajak kita melihat perjuangan santri dalam konteks yang lebih luas, bukan lagi di medan perang fisik, lebih dari itu santri hadir di medan sosial, moral, dan digital.

Dalam lintasan sejarah, santri dan masjid tidak pernah terpisah. Dari pesantren, para santri lahir, dari masjid, mereka tumbuh. Keduanya menjadi ruang pembentukan peradaban, tempat ilmu berjumpa dengan iman, dan ibadah berpadu dengan pengabdian. Kini, ketika dunia berubah cepat, keduanya juga dituntut untuk menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.

Masjid hari ini menghadapi tantangan yang tak kalah besar dibanding masa lalu.

Bukan lagi penjajahan fisik, tapi penjajahan informasi, bukan lagi pertempuran senjata, melainkan pertempuran narasi. Di tengah derasnya arus digital, masjid harus menjadi ruang yang meneduhkan, bukan menegangkan, menjadi sumber pencerahan, bukan penghakiman.

Program-program seperti Masjid Ramah dan Inklusif serta gerakan Masjid Berdaya dan Berdampak (MADADA) yang digagas oleh Kementerian Agama melalui Ditjen Bimas Islam menjadi wujud nyata bahwa rumah ibadah bisa hadir di tengah masyarakat modern. Masjid kini bukan hanya tempat salat berjamaah, tapi juga pusat literasi, pemberdayaan ekonomi umat, dan pembinaan generasi muda. Di banyak daerah, masjid bahkan telah menjadi ruang diskusi publik, tempat masyarakat belajar memahami keberagamaan dengan cara yang lebih terbuka dan kontekstual.

Santri hari ini menghadapi medan baru, ruang digital yang tanpa batas.

Jika dulu perjuangan dilakukan dengan pena dan mimbar, kini perjuangan dilakukan lewat konten, algoritma, dan media sosial. Namun di ruang inilah muncul paradoks baru, akses informasi semakin terbuka, tetapi kebenaran makin abu-abu.

Di tengah banjir informasi dan maraknya disinformasi, literasi digital saja tak lagi cukup, yang dibutuhkan adalah literasi kritis dan etika digital. Santri dan penggerak masjid punya peran penting untuk menjaga ruang digital tetap beradab. Dakwah tidak boleh berhenti di dinding masjid, tapi harus hadir di layar-layar kecil yang setiap hari menggenggam perhatian publik. Melalui konten yang mencerahkan, narasi yang damai, dan komunikasi yang santun, santri bisa menjadi penjaga akal sehat umat di dunia maya.

Dakwah Ekologis dan Kesalehan Sosial

Tantangan peradaban juga hadir dalam bentuk kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang menghantui dunia saat ini. Dalam konteks inilah, gerakan ekoteologi menjadi teramat krusial.

Masjid dapat menjadi pusat kesadaran ekologis, tempat jamaah belajar bahwa menjaga bumi juga bagian dari ibadah. Menghemat air wudhu, mengelola sampah, menanam pohon di halaman masjid, hingga beralih ke energi ramah lingkungan, semua itu adalah bentuk baru dari dakwah yang menyejukkan bumi dan hati.

Peradaban yang besar tidak lahir dari kemegahan fisik, tapi dari cara manusia memperlakukan alam dan sesamanya. Dan dari santri, bangsa ini belajar bahwa spiritualitas sejati selalu melahirkan tanggung jawab sosial.

Mengawal Indonesia Merdeka berarti menjaga kemerdekaan berpikir, beragama, dan berinteraksi. Masjid dan santri punya tanggung jawab besar dalam meneguhkan nilai-nilai moderasi beragama menolak ekstremisme, menghindari polarisasi, dan memperkuat persaudaraan. Ketika ruang digital sering menjadi medan perpecahan, maka tugas santri dan masjid adalah menghadirkan narasi yang meneduhkan dan menyatukan.

Santri masa kini bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penjaga masa depan.

Mereka berdiri di persimpangan antara nilai dan modernitas, antara kitab kuning dan algoritma, antara masjid dan metaverse. Namun di manapun mereka berada, satu hal tetap sama, semangat untuk menjaga kemerdekaan Indonesia agar tetap berakar pada iman dan berbuah dalam peradaban.

Dari masjid, santri belajar kesederhanaan. Dari pesantren, mereka belajar kemandirian. Kini keduanya ditantang untuk menghadirkan nilai-nilai itu di tengah dunia yang serba cepat dan digital. Masjid bukan hanya tempat sujud, tapi simbol harapan, santri bukan hanya murid di pesantren, tapi pembawa cahaya penerang bagi zaman.

Dari masjid yang berdaya dan santri yang berilmu, lahirlah peradaban yang memuliakan manusia dan menjaga bumi. Inilah semangat Hari Santri 2025  Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |